Jumat, 23 Desember 2011

Barometer Akulturalisme Drama Indonesia dan Drama Asing


A. ABSTRAK


    Penulisan ini didasari adanya suatu tanggapan atas segala realita yang ada mengenai hadirnya berbagai drama modern dalam hal ini drama asing yang ikut mewarnai pergolakan drama dalam dunia sastra Indonesia hingga mampu merangsang beberapa penyair ternama Indonesia untuk menerjemahkan berbagai karya sastra asing khususnya drama sebagaimana yang menjadi inti pembahasan sekaligus pengkajian  kita kali ini. Dari tindakan beberapa penyair itulah tentunya memiliki sebab atau alasan yang kokoh  dalam kaitan arus kehidupan sastra di Indonesia.

    Penelitian ini tergolong jenis penelitian kepustakaan. Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif yaitu metode yang tidak menggunakan data statistik atau dengan kata lain lebih menempuh pada penafsiran logika untuk memperoleh data yang diteliti. Adapun sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data tertulis dengan mengambil empat buah drama dari dua sumber yang berbeda dalam hal ini dari dua negara yang berbeda yang secara otomatis tentunya berasal dari penyair yang berbeda pula., yakni terdiri atas dua buah drama Indonesia (drama lokal Sulawesi tenggara) yang berjudul Kadera karya dan Didit Marshel dan Putri Padangguni (Kera dan Tupai Menuai padi) karya Muhamad Edy Sul dan dua buah drama asing yakni Pagi Bening karya Serafin dan Joaquin Alvarez Quentero terjemahan dari Drs. Sapardi Djoko Damono dan Malam Terakhir karya Yukio Mishima kemudian terjemahkan oleh Toto sudarto Bachtiar. Keempat drama tersebut dijadikan sebagai bahan perbandingan mengenai nilai estetikanya yang terkandung dari keempat sumber drama yang berbeda.

    Hasil penelitian dan pembahasan diperoleh informasi bahwa kehadiran berbagai karya sastra asing atau kondisi akulturasi   kesusastraan Indonesia  sebagaimana pada realitasnya bukanlah suatu pemaknaan atau pencerminan bahwa kesastraan Indonesia bersifat lemah dibanding karya-karya sastra luar negeri, namun itu merupakan suatu cara untuk mengenalkan karya-karya sastra Indonesia ke dalam dunia persaingan sastra dunia serta merupakan salah satu upaya untuk menambah khazanah kesastraan bangsa kita.

.     Ditinjau dari sudut pandang mengenai pengaruh dan kedudukan sastra asing  dalam pergolakan sastra Indonesia,  yakni bukanlah sesuatu hal yang bersifat negatif dan perlu dijaga ataupun dihindari keberadaanya karena pada dasarnya kesusastraan indonesia lahir dari adanya pengaruh-pengaruh ataupun sentuhan dari budaya asing yang selalu melekat pada arus perkembangan kesastraan Indonesia atau dengan kata lain cukup banyak tokoh-tokoh legendaries sastra yang sebenarnya memanfaatkan pengetahuan yang didapatkannya dari kehidupan sastra asing sebagai bahan menciptaan yang akan dijadikan sebuah bentuk karya sastra. Oleh karena itu, kedudukan sastra asing dalam kehidupan kesastraan Indonesia sangatlah penting untuk dijadikan cerminan atau tolak ukur bahkan persaingan untuk mengenai sejauh mana perkembangan dan kemajuan khazanah sastra kita dibanding dengan kehidupan sastra Negara lain.   .

B. LATAR BELAKANG

    Konsep definisi karya sastra sangat beragam bila kita melihat pendapat-pendapat dari berbagai para ahli bahkan penyair yang telah cukup lama bergelut dalam dunia sastra.  Ada yang menyatakan bahwa karya sastra adalah bagian seni yang mengandung unsur kehidupan yang menimbulkan rasa senang,nikmat, terharu, menarik perhatian dan menyegarkan perasaan hati penikmatnya (Taum, 1997: 15) dan adapula beberapa pendapat yang menyatakan bahwa karya sastra merupakan gambaran sekeliling ruang kehidupan tentang keadaan yang terjadi  yang dirasakan oleh penyairnya. Cerita yang dilakonkan atau yang yan dikenal dengan istilah drama  merupakan salah satu ragam sastra yang menjadi sasaran pengkajian dalam penulisan ini.
Kesusastraan Indonesia merupakan potret sosial budaya masyarakat Indonesia Sastra lahir dari proses kegelisahan sastrawan atas kondisi masyarakat dan terjadinya ketegangan atas kebudayaannya. Sastra sering juga ditempatkan sebagai potret sosial. Ia mengungkapkan kondisi masyarakat pada masa tertentu. Ia dipandang juga memancarkan semangat zamannya. Dari sanalah, sastra memberi pemahaman yang khas atas situasi sosial, kepercayaan, ideologi, dan harapan-harapan individu yang sesungguhnya merepresentasikan kebudayaan bangsanya. Dalam konteks itulah, mempelajari sastra suatu bangsa pada hakikatnya tidak berbeda dengan usaha memahami kebudayaan bangsa yang bersangkutan. Dengan perkataan lain, mempelajari kebudayaan suatu bangsa tidak akan lengkap jika keberadaan kesusastraan bangsa yang bersangkutan diabaikan. Di situlah kedudukan kesusastraan dalam kebudayaan sebuah bangsa. Ia tidak hanya merepresentasikan kondisi sosial yang terjadi pada zaman tertentu, tetapi juga menyerupai pantulan perkembangan pemikiran dan kebudayaan masyarakatnya.
Jika karya sastra merupakan bentuk pencerminan tentang situasi di sekellingnya, maka kehadiran bentuk karya sastra yang berasal dari tempat dan pengarang yang berbeda, berarti masing-masing konsep yang dikandungnya termasuk nilai estetikannya akan berbeda pula, hal ini disebabkan  karena adanya hubungan yang kontekstual antara keadaan dan karya sastra itu sendiri . Arus perjalanan kehidupan karya sastra di Indonesia dari masa ke masa memang  tidak terlepas dengan adanya pengaruh sastra asing yang pada mulanya dulu sejak pada masa Angkatan Balai Pustaka.
Keberadaan berbagai bentuk karya sastra asing tenyata membawa pengaruh bagi kehidupan beberapa penyair di Indonesia ketertarikan mereka pada jeni-jenis karya asing diwujudkan seperti halnya dalam bentuk penerjemahan karya sastra, penulisan esai tentang pendapat mereka dalam mengkritisi kehidupan satra di Indonesia. Dengan demikian, dalam kaitannya dengan hal tersebut, apakah ini berarti bahwa kekuatan kehidupan sastra di Indonesia masih tebilang lemah dan masih jauh tertinggal dengan sastra asing atau hanya sekedar pacuan kita untuk semakin menyadarkan dan membangkitkan semangat hati-hati penjiwa sastra dalam dunia

C. TUJUAN
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulisan ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana pengaruh dan kedudukan sastra asing  dalam pergolakan sastra Indonesia?

PEMBAHASAN

    Perkembangan arus globalisasi sastra Indonesia yang selalu diwarnai oleh pengaruh asing, ini merupakan seseuatu hal yang tidak  bersifat dini lagi, sebab pengaruh ini sudah lahir sejak dulu, yang mana ketika Indonesia mengawali pinjakannya dalam dunia sastra sebagaimana di negri lain yang sistem perkembangan sastranya telah dipengaruhi secara dominan olehi sastra Erofa, bahkan norma-norma dan konvensi-konvensi sastra  yan berasal dari realisme formal dan realisme lain diterima sebagai unsure penentu untuk memandang komoderenan suatu karya. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Rendra dalam kumpulan esai  Sapardji Djoko Damono dalam buku yang berjudul Drama Indonesia, Rendra mengatakan bahwa sebenarnya teater modern kita berasal dari Barat yang berkembang ketika kelompok kaum elit kita merasa tidak puas dengan tradisi lisan saja.
Atas dasar sentuhan-setuhan sastra kita dari budaya asing, maka tidak heran jika  . namun dengan keberadaan itu, membuktikan bahwa tidak sedikit orang yang merasa khawatir akan pengaruh budaya asing yang dapat melunturkan budaya asli Negara kita, tetapi ada pula sebagian  orang bahkan hingga pada tokoh-tokoh sastrawan Indonesia yang menyatakan bahwa akan pentingnya pengaruh asing itu untuk dijadikan sebuah barometer atau tolak ukur kita dalam mengembangkan dunia sastra kita masa kini hingga masa yang akan datang.

       Hal demikian dibuktikan oleh beberapa tokoh sastrawan Indonesia seperti halnya Sapardji Djoko Damono, Chairil Anwar, Pramudya Anantatuor, dan  mungkin masih cukup banyak penyai-penyair lain yang kagum akan keberadaan sastra asing. Kekaguman itu dibuktikan terhadap sikap mereka akan usaha-usahanya dalam menerjemahkan berbagai karya sastra asing dalam bahasa Indonesia seperti halnya Pramoedya Ananta yang menerbitkan terjemahan novel Maxim Gorky, Leo Tolstoy, Mikhail Slokov dan John Steinbeck bahkan selain itu ada juga Chairil Anwar, penyair legendaris inipun dikenal sebagai penerjemah atas sejumlah puisi, cerpen dan novel karya para sastrawan terkemuka di dunia anatara lain Ernest Hemingway, John Steinbeck, dan andre Gide. Dari generasi berikutnya ada Sapardji Djoko Damono, Landing Simatupang, Arif Bagus Prasetyo, dan Eka Kurniawan. Beberapa dari nama satrawan penerjemah ini mungkin hanya merupakan bagian kecil yang tercantum.

      Selain itu, yang patutut dikagumi dalam perjalanan arus sastra kita ialah ternyata para tokoh legendaries sastra kita tidak hanya menerjemahkan sastra-sastra asing ke dalam bahasa Indonesia, tetapi ternyata cukup banyak karya-karya para sastrawan Indonesia yang juga mewarnai dunia sastra pada Negara lain, salah satunya beberapa karya Chairil Anwar yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris,Jerman, dan Spanyol. Terjemahan karya-karyanya di antaranya adalah "Sharp gravel, Indonesian poems", oleh Donna M, Dickinson (Berkeley? California, 1960), "Cuatro poemas indonesios [por] Amir Hamzah, Chairil Anwar, Walujati" (Madrid: Palma de Mallorca, 1962), dan Chairil Anwar: Selected Poems oleh Burton Raffe dan Nurdin Salam (New York, New Directions, 1963). Bahkan sebagai bahan renungan tentang sebuah kenyataan bahwa Pramoedya Ananta Toer pernah menjadi kandidat kuat memenangi hadiah sastra paling prestesius di dunia, dengan menerbitkan novel-novel cemerlang yang kemudian melambungkan namanya di blantika sastra dunia, ia berhasil menyisihkan sangian-saingannya dan melaju hingga pada nominasi terakhir, namun disaat terakhir ia diungguli oleh penyair Nigeria yaitu Wole Soyinka. Selin itu, Pramoedya adalah salah seorang penulis Indonesia yang karyanya paling banyak diterjemahkan ke bahasa lain, dan ampir semua bukunya telah diterjemahkan ke bahasa asing, bahkan ada yang telah diterbitkan dalam 40 bahasa. Dengan demikian, hal ini turut membuktikan bahwa Kesastraan Indonesia memilki kemampan tradisi yang kuat atas keberhasilan beberapa karya sastra kita yang mampu menembus arus persaingan kesastraan dunia.
Sementara itu, ketika  Sapardji Djoko Damono turut angkat bicara mengenai keadaan sebagian penyair Indonesia termasuk dirinya yang senang menyibukkan diri dalam menerjemahan berbagai sastra asing, dirinya  menyatakan bahwa hal ini merupakan salah satu cara untuk meningkatkan taraf pergaulan kita dengan bangsa-bangsa lain khususnya dalam dunia kesastraan, dan bagaimanapun, kita tidak bisa menutup diri dari perkembangan sastra dunia jika kita ingin berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa lain yang menguasai pentas sastra dunia. Ditambahkannya, di zaman sekarang ini tidak akan mungkin suatu budayaan berkembang sendiri  tersentuh dengan kebudayaan lain, namun tentu saja dalam usaha bergaul kita tidak hanya harus menerima tetapi kita juga harus memberi dan kita tentu saja bisa menawarkan karya sastra kita terhadap bangsa lain sebagai usaha penting agar bangsa lain memahami dan menghayati dunia kita maupun budaya bangsa kita.

    Setelah melihat pendapat tokoh sastrawan Indonesia dan kembali memperhatikan dinamika perkembangan sastra bangsa Indonesia dari masa ke masa, dengan melihat realita yang ada, memang benar bahwa pada realitasnya bagaimanapun kesastraan bangsa kita tidak bisa terlepas dari pengaruh asing sebagaimana juga  yang dialami oleh ruang kesastraan bangsa-bangsa lain. Apalagi ditambah keadaan bangsa kita yang senantiasa terbuka terhadap pengaruh asing dan sama sekali tidak menujukkan sikap kekhawatiran dalam menghadapinya. Para penerjemah sebenarnya adalah para penggalih bahasa yang berperan besar dalam perkembangan sastra dunia. Oleh karena itu, menurutnya, diperlukan dukungan yang luas bagi profesi penerjemah yang besar tanggung jawabnya, tapi sering tidak mendapatkan perhatian. Dukungan tersebut diharapkan datang bukan saja dari pemerintah, melainkan juga dari berbagai unsur yang berkepentingan dengan tugas para penerjemah, termasuk para pembaca yang kritis.

    Di zaman seperti sekarang ini ketika arus perkembangan komunikasi yang kian hari semakin pesat, tidak akan mungkin suatu kebudayaan berkembang sendiri tanpa bersinggung atau tersentuh dengan kebudayaan lain. Disamping itu, kita memang harus mengakui bahwa kebudayaan yang memang selalu cenderung mempengaruhi kebudayaan yang lebih lemah.

       Dengan demikian, jika pendukung kebudayaan yang lebih lemah bersikap posif, maka tentu ada kemungkinan ia hanya mendapatkan atas apa yang diberikan dan didapatkan alangkadarnya saja, namun biala ia bersikap aktif, ia bisa memilih segala sesuatu yang terkandung dalam kebudayaan lain yang dapat dimanfaatkan uantuk memperkaya dan memperkuat sebagai tonggak penujang kehidupan sastra bangsa kita. Oleh karena itu, sebagai bangsa yang berfikir, kita jangan pernah takut atupun khawatir terhadap pengaruh kebudayaan asing serta hadirnya berbagai alasan yang dapat melunturkan budaya asli Negara kita, tetapi justru kita harus lebih aktif mencari dan bahkan  merebut kebudayaan asing yang kita anggap baik dan dapat dimanfaatkan. Hal ini bukan merupakan sikap tetapi bagaimana cara kita menumbuhkan serta memperkaya kehidupan sastra kita kesastraan Indonesia tidak selalau berada di bawah naungan sastra-satra asing, tetapi bagaimana caranya agar karya-karya sastra kita mampu bersaing berbagai karya sastra asing.

       Sebenarnya kekhawatiran mengenai keberadaan pengaruh asing tidak perlu ada, sebab sejarah telah mencatat juga dominasi sastra terjemahan dalam kehidupan nenek moyang kita dan dengan sangat cepat kita bahkan telah menyandur sastra-sastra asing dan menjadikannya bagian penting yang turut mengembangkan khazanah kebudayaan bangsa kita. Adapun mengenai sastra-sastra asing kita yang telah diterjemahkan, tidak lagi menjadi milik  bahasa dan kebudayaan dari sumbernya, tetapi sudah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari bahasa dan kebudayaan sasaran atau pennikmat karya satra itu sendiri. Sebagai penikmat karya sastra, ada satu hal yang tidak bisa kita lupakan dalam kaitan hal ini, yakni barangkali kita telah lupa nama nama berbagai tokoh yang ada dalam suatu karya sastra seperti halnya Arjuna, Abunawas, dan Pinokio. Kita harus kembali menoleh ke belakang tentang asal-usul keberadaan mereka, yang ternyata mereka juga merupakan tokoh-tokoh cerita dari hasil karya Negara asing. Mungkin pada awalnya dulu kita tertarik pada tokoh-tokoh itu justru karena mereka menghadirkan hal penting yang tidak hadir dalam kehidupan kita dan merupakan hal yang baru.

    Ketika Sapardjio Djoko Damono kembali menyinggung mengenai keberadaan pengaruh sastra asing terhadap dunia kesastraan bangsa Indonesia, dirinya menyatakan bahwa setiap kali kita membahas mengenai penyusupan atau pengaruh kesusastraan asing, berarti kita berbicara mengenai apa yang disebut kebudayaan massa. Istilah  dalam bahasa inggris ini konon berasal dari bahasa Jerman yang terdiri atas dua kata yaitu Masse dan Kultur, yang biasa kita kenal dengan istilah mass culture. Kebudayaan massa merupakan sebuah istilah yang mengandung nada mengejek atau merendahkan. Selanjutnya ia kembali menjelaskan bahwa istilah ini merupakan pasangn dari high culture, dalam artian kebudayaan elit atau tinggi. Kebudayaan tinggi mengacu tidak hanya berbagai jenis kesenian produk simbolik yang menjadi plihan kaum elit terpelajar dalam masyarakat Barat, tetapi segala sesuatu yang ada kaitannya dengga pikiran dan perasaan kaum yangmenjatuhkan pilihan atas jenis kesenian dan produk sibolik tersebut.

       Dari sumbangan pemiikiran Sapardji, perlu kita menyadari bahwa ini merupakan sebuah cerminan agar kita tidak selalu menumbuhkan sikap kekhawatiran kita yang berlebihan terhadap nasib kesusastraan bangsa kita dan memfonisnya bahwa kehidupan sastra kita berada dalam bahaya, sebab hal ini akan mematahkan semangat generasi para penerus bangsa yang sebenarnya tidak perlu ada. Tetapi hal yang perlu kita lakukan ialah menumbuhkan sikap tradisi itu dalam wujud semangat membaca, menulis, dan menerbitkan karya sastra, serta mewariskan pustaka sebagai pusaka yang terus dimaknai dan kemudian mewujudkan dalam karya-karya besar atau membaca karya-karya bermutu dari khazanah sastra dunia kemudian  membandingkan hasil karya kita dengan berbagai karya dari luar negeri serta meniru semangat kerjanya dalam berkarya dari proses kreatif mereka demi kemajuan khazanah kesusastraan bangsa Indonesia. Ini bukan berarti bahwa karya sastra dunia itu selalu lebih superior dari karya kita sendiri, namun anggap saja sebagai pembanding, semacam kawan bergelut.


PENUTUP
Kesimpulan

    Berdasarkan dari uraian serta sumbangan pemikiran dari bebepa legendaris sastra ternama Indonesia, maka dapat disimpulkan bahwa kehadiran berbagai karya sastra asing atau kondisi akulturasi   kesusastraan Indonesia  sebagaimana pada realitasnya bukanlah suatu pemaknaan atau pencerminan bahwa kesastraan Indonesia bersifat lemah dibanding karya-karya sastra luar negeri, namun itu merupakan suatu cara untuk mengenalkan karya-karya sastra Indonesia ke dalam dunia persaingan sastra dunia serta merupakan salah satu upaya untuk menambah khazanah kesastraan bangsa kita.

.     Ditinjau dari sudut pandang mengenai pengaruh dan kedudukan sastra asing  dalam pergolakan sastra Indonesia,  yakni bukanlah sesuatu hal yang bersifat negatif dan perlu dijaga ataupun dihindari keberadaanya karena pada dasarnya kesusastraan indonesia lahir dari adanya pengaruh-pengaruh ataupun sentuhan dari budaya asing yang selalu melekat pada arus perkembangan kesastraan Indonesia atau dengan kata lain cukup banyak tokoh-tokoh legendaries sastra yang sebenarnya memanfaatkan pengetahuan yang didapatkannya dari kehidupan sastra asing sebagai bahan menciptaan yang akan dijadikan sebuah bentuk karya sastra. Oleh karena itu, kedudukan sastra asing dalam kehidupan kesastraan Indonesia sangatlah penting untuk dijadikan cerminan atau tolak ukur bahkan persaingan untuk mengenai sejauh mana perkembangan dan kemajuan khazanah sastra kita dibanding dengan kehidupan sastra Negara lain.


DAFTAR PUSTAKA

Heryanto, Ariel.1985. Perdebatan Sastra Kontekstual. Jakarta : CV. Rajawali.
Damono, Spardji Djoko. 2010. Drama Indonesia. Ciputat : Editum.
Hidayat, Ahid. 2009. Kontrapropaganda dalam Darama Propaganda Sejumlah Telaah.      Kendari : FKIP Unhalu.
Ratna, Nyoman Kutha. 2008. Teori, Metode, dan Teknik Peneliitian Sastra. Yogyakarta :      Pustaka Pelajar.
Zulfahnur, dkk. 1996. Teori Sastra. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Murniah, Dad, dkk. 2005. Antologi Drama Sulawesi Tenggara. Kendari : Kantor Bahasa            Provinsi Sulawesi Tenggara.






BIODATA PENULIS

    Herlin lahir di Kendari, 4 September 1990. Ia merupakan anak bungsu dari tiga bersaudara pasangan Sjahir dan Almarhumah Hasmirah. Masa kecil dan remajanya dihabiskan di kampung halamannya kelurahan Kapoiala, kecamatan kapoiala, kabupaten Konawe. Pendidikannya dimulai di SDN 1 Kapoiala lulus tahun 2002 , melanjutkan sekolahnya di SMPN 3 Soropia lulus tahun 2005, dan meneruskan belajar di SMAN 1 Sampara (kini menjadi SMAN 1 Kapoiala), lulus tahun 2008. Kemudian ia melanjutkan pendidikannya di salah satu perguruan tinggi Sulawesi Tenggara Universitas Haluoleo pada FKIP (Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan) Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni, program studi  Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah pada program S-1. Ia pernah menjadi tim PASKIBRAKA di kecamatan Bondoala, kini aktif dalam sebuah organisasi di kampus yang bernama SAINS (Studio Apresiasi Insan Seni).

NILAI-NILAI MORAL DALAM CERITA RAKYAT TOLAKI (PASA’ENO)


BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang dan Masalah
1.1.1 Latar Belakang

       Sulawesi tenggara merupakan salah satu wilayah kepulauan yang memiliki penduduk bersifat majemuk dan beragam etnis. Dengan adanyanya keberagaman itu, mampu menciptakan nuansa indah dan menjadi suatu kebanggan tersendiri oleh setiap kelompok sosial tertentu. Kelompok sosial yang dimaksud dalam hal ini yaitu mencakup suku-suku mayoritas yang terdapat di Sulawesi Tenggara yaitu Tolaki, Muna dan Buton. Ketiga mayoritas etnis tersebut, masing-masing memiliki kekayaan tradisi yang selalu diwariskan secara turun-temurun yaitu dari satu generasi ke generasi selanjutnya dan selalu dijadiakn sebagai pedoman hidup oleh setiap kelompok masyarakatnya. Salah satu yang menjadi kekayaan taradisinya yaitu tradisi lisan.

       Sastra lisan merupakan salah satu sarana pewarisan konsepsi dan nilai budaya yang dapat berupa cerita rakyat, serta dipercaya mengandung nilai-nilai budaya, tumbuh dan berkembang seiring pertumbuhan dan perkembangan masyarakatnya, sehingga memegang peranan penting dalam upaya membentuk watak sosial masyarakat pendukungnya juga menjadi prinsip hidup masyarakatnya.
Sastra lisan masyarakat Tolaki, dalam hal ini cerita rakyat, dapat kita temukan di masyarakat pendukungnya yang benar-benar mengetahuinya. Dalam masyarakat Tolaki terdapat banyak cerita rakyat yang dapat kita temukan diantaranya  kisah Oheo, kisah Onggabo, kisah kali konawe’eha ronga laasolo, kisah haluoleo serta masih banyak cerita rakyat yang dapat kita temukan, yang kesemuanya masing-masing memiliki nilai-nilai tertentu yang dapat dimanfaatkan dalam kehidupan.

    Pemanfaatan unsur-unsur nilai yang terdapat dalam setiap cerita rakyat, pada realitasnya mampu membimbing bahkan mengatur sebagian masyarakat untuk menjadi lebih baik. Meski terkadang kenyataanya masih diragukan sebab sebagai sebuah jeenis sastra yang hidup dalam tradisi lisan, cerita prosa rakyat tidak diketahui tentang nama pengarangnya atau bersifat anonim.
Banyak cara yang dapat kita tempuh untuk mengenal tradisi suatu daerah salah satunya yaitu dengan cara mempelajari bahasa dan sastranya, baik sastra lisan maupun tulis karena keduanya saling mempengaruhi antar satu sama lain, karena pada dasarnya sastra tulis berangkat dari sastra lisan yang kemudian diwujudkan dalam bentuk tulisan. selain dengan adanya perkembangan teknologi, hal itu juga dimaksudkan agar sastra yang merupakan tradisi yang telah ada dapat dikembangkan juga diarsipkan agar dapat dimanfaatkan oleh orang lain untuk mengetahui khasanah kebudayaan bangsa.

       Mengingat kapasitas cerita rakyat di tengah masyarakat merupakan sesuatu hal yang masih menjadi perhatian oleh sebagian kelompok masyarakat mulai dari sudut pandang nilai-nilai tradisi hingga aspek-aspek lain, maka penulis merasa  tertarik untuk meneliti salah satu cerita rakyat yang bersumber dari masyarakat Tolaki yang berjudul Pasa’eno. Cerita rakyat ini telah lama berkembang terhadap sebagian masyarakat suku Tolaki, hal ini dapat ditandai dengan  adanya penggunaan istilah Pasa’eno sebagai marga dalam suatu golongan khususnya dalam masyarakat Tolaki.

1.1.2    Masalah

       Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi masalah dalam penelitian ini yaitu bagaiamakah nilai-nilai moral yang terdapat dalam cerita rakyat Tolaki yaitu Pasa’eno?

1.2    Tujuan Dan Manfaat   
1.2.1  Tujuan Penelitian

       Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan nilai-nilai moral yang terdapat dalam cerita rakyat Tolaki yaitu Pasa’eno.

1.2.2    Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut :
1.    Sebagai salah satu bahan ajar dalam pembelajaran Bahasa Dan Sastra Indonesia Dan Daerah       di sekolah khususnya materi sastra.
2.    Memberikan masukan dalam pengembangan apresiasi sastra khususnya pada sastra daerah.
3.    Sebagai sumbangan pemikiran dan bahan perbandingan pada penelitian selanjutnya mengenai aspek-aspek yang dianggap relevan.

1.3    Ruang Lingkup Penelitian

       Penelitian ini mengungkap nilai moral, yang menyangkut kejujuran, keberanian, dan sikap saling menghormati antar sesama manusia.

1.4    Definisi Operasional

       Untuk menghindari kesalahpahaman, maka berikut ini dipaparkan definisi operasinal yang digunakan dalam penelitian ini.
1.    Nilai adalah sesuatu yang berharga, bermutu, menunjukkan kualitas, dan berguna bagi manusia. Sesuatu itu bernilai berarti sesuatu itu berharga atau bergunabagi kehidupan manusia.
2.    Cerita rakyat adalah suatu golongan cerita yang hidup dan berkembang secara turun-temurun daru suatu generasi ke generasi selanjutnya.
3.    Moral adalah nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.


BAB II
KAJIAN TEORI

3.1    Pengertian Sastra

       Banyak ahli yang mendefenisikan pengertian sastra berdasarkan sudut pandang mereka masing-masing. Namun inti pendefinisiannya tidak keluar dari konsep sastra itu sendiri, sebab pada hakekatnya, segala bentuk karya sastra baik yang berbentuk lisan maupun tulisan diciptakan yang dapat dijadikan sebagai pedoman hidup manusia.
       Istilah sastra berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu sas dalam kata kerja turunan berarti mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk atau intruksi, dan tra biasanya berarti menunjukkan “alat” atau “sarana”. Dengan demikian sastra dapat berarti “alat untuk mengajar”, “buku petunjuk”, “buku intruksi atau pengajaran”. Awalan su berarti “baik” atau “indah”. Namun susastra tidak terdapat dalam bahasa Sansekerta maupun bahasa jawa Kuno, (Pradotokusumo, 2005: 7).

3.2    Konsep Sastra Lisan

       Hutomo (1983:2) menjelaskan bahwa sastra lisan atau kesusastraan lisan merupakan kesusastraan yang mencakup ekspresi warga atau kebudayaan yang disebutkan dan diturun-temurunkan secara lisan dari mulut ke mulut. Hal ini menandakan bahwa sastra lisan merupakan salah satu warisan budaya yang selalu diwariskan dari satu generasi ke generasi selanjutnya, yang mana bahasa dijadikan sebagai media utama dalam menyampaikannya.

       Akibat adanya pewarisan sastra lisan secara turun temurun, maka sastra lisan telah berwujud menjadi sebuah tradisi yang selalu berkembang dalam masyarakat. Proses perkembangannya dalam kehidupan sehari-hari dapat berupa melelui penuturan seorang ibu kepada anaknya, seorang guru kepada muridnya, maupun antar sesama anggota masyrakat.

       Pewarisan sastra lisan yang selalu terjadi dalam suatu masyarakat,  mempunyai peranan penting tersendiri, yaitu dengan adanya nilai-nilai kehidupan yang terkandung di dalamnya yang dapat dijadikan sebagai pedoman hidup dalam suatu kelompok masyarakat.
       Dengan adanya perkembangan teknologi dari masa ke masa, serta upaya untuk melestarikan sastra lisan, maka kini sastra lisan tidak hanya berbentuk lisan, tetapi dapat berupa bentuk tulisan yang biasa diwujudkan dalam buku cerita anak dan bahan pembelajaran.

3.3    Cerita Rakyat

       Cerita rakyat adalah suatu golongan cerita yang hidup dan berkembang secara turun-temurun daru suatu generasi ke generasi selanjutnya. Dikatakan sebagai cerita rakyat karena cerita itu hidup dan berkembang di kalangan  masyarakat dan semua lapisan masyarakat mengenal ceritanya (Djamaris, 1993: 15).
       Dengan hadirnya cerita rakyat sebagai sastra tradisional pada setiap suku, maka kita dapat mengetahui mengenai sendi-sendi kehidupan secara lebih mendalam terhadap suatu kelompok masyarakat. Dalam kedudukannya di tengah masyarakat, cerita rakyat dapat bermanfaat sebagai sarana untuk mengetahui asal-usul nenek moyang, sebagai jasa atau teladan kehidupan para pendahulu kita, sebagai hubungan kekerabatan, sebagai sarana pengetahuan asal mula tempat, adat-istiadat dan sejarah benda pusaka.

3.4    Jenis-Jenis Cerita Rakyat

      Dalam kedudukannya sebagai sastra tradisional, cerita rakyat dibagi atas tiga jenis, yaitu sebagai berikut :

3.4.1    Dongeng

       Dongeng adalah cerita sederhana yang tidak benar-benar terjadi. Dalam bahasa Inggris dongeng disebut folklore yang berarti sebagai cerita fantasi yang kejadian-kejadiannya tidak benar terjadi. Sebagai folklor,  dongeng juga merupakan suatu cerita yang hidup di kalangan masyarakat dan disajikan dengan cara bertutur lisan oleh tukang pencerita. Dalam kedudukannya di masyarakat, dongeng berfungsi sebagai hiburan, pengajaran moral dan nasehat bagi kehidupan dan sumber pengetahuan. Adapun tokoh-tokoh dalam dongeng, biasanya berupa dewa dan dewi, peri penyihir, binatang, kastil, benda-benda ajaib dan lain-lain.

3.4.2    Legenda

       Legenda merupakan cerita tradisional, sebab keberadaannya sudah dimiliki sejak dulu. Adapun proses pewarisannya biasa diterima dari orang tua ataupun keluarganya. Menurut Rusyana (La Ode Taalami, 2008 :20), legenda adalah prosa rakyat yang memiliki ciri-ciri mirip dengan mite, yakni pernah dianggap pernah benar-benar terjadi, tetapi tidak dianggap suci. Tokoh dalam leggenda adalah manusia meskipun adakalanya mempuunyai sifat luar biasa dan sering dibantu oleh mahluk gaib.

3.4.3    Mitos/Mite

        Dalam  bahasa Indonesia, istilah mitos atau mite “mythos” (Yunani) yang berarti cerita dewata, dongeng terjadinya bumi dengan segala isinya atau diambil dari bahasa Inggris “myth” : story, handed down fromold times, about the early beliefes of a race (cerita yang meriwayatkan zaman purbakala yang dipercayai suatu bangsa hingga kini).
     Mitos adalah cerita prosa yang ditokohi para dewa atau setengah dewa yang terjadi di dunia lain (kayangan0 dan dianggap benar-benar terjadi oleh penganutnya. Pada umumnya mitos menceritakan tentang terjadinya alam semesta, dunia, bentuk khas binatang, bentuk tofografi, petualangan para dewa, kisah percintaan mereka dan sebagainya.

2.5 Konsep Nilai

       Nilai adalah sesuatu yang berharga, bermutu, menunjukkan kualitas, dan berguna
bagi manusia. Sesuatu itu bernilai berarti sesuatu itu berharga atau berguna
bagi kehidupan manusia.
       Menilai berarti menimbang, menghubungkan antar sesuatu untuk selanjutnya mengambil keputusan. Keputusan nilai itu dapat dikatakan berguna atau tidak berguna, baik atau tidak biak, religius atau tidak religius. Hal itu dihubungkan dengan unsu-unsur yang melekat pada diri manusia yaitu jasmani, cipta, rasa dan kepercayaan.

3.5    Konsep Moral

        Pada hakikatnya nilai-nilai moral menyangkut tentang nilai baik dan buruk, positif dan negatif, pantas dan tidak pantas, serta sejenisnya adalah sesuatu yang bersumber dari ajaran agama. Prinsip ajaran agama adalah untuk mengatur kehidupan manusia. Jenis ajaran moral dapat mencakup masalah yang boleh dikatakan tidak terbatas. Ia dapat mencakup seluruh persoalan kehidupan, seluruh persoalan yang menyangkut harkat dan martabat manusia. Oleh karena itu, moral merupakan nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.
       Secara garis besar persoalan kehidupan manusia dapat dibedakan ke dalam beberapa persoalan, yaitu persoalan manusia dengan dirinya sendiri, hubungan antar manusia termasuuk hubungannya dengan lingkungan alam, serta hubungan manusia dengan Tuhannya, (Nurgiyantoro, 2007:323).
       Karya sastra mengandung penerapan moral dalam tingkah laku dan sikap para tokoh. Sementara pembaca diharapkan dapat menangkap pesan-pesan moral yang terkandung dalam karya sastra. Pesan moral yang ditawarkan selalu berhubungan dengan sifat luhr manusia dalam memperjuangkan hak dan martabat manusia.

3.6    Sastra Tolaki

       Pengertian kata “seni” jika diartikan dalam bahasa Tolaki disebut “alusu”. Istilah sastra jika diartikan dalam bahasa Tolaki bepadanan dengan “bitara ndolea”. Sastra bila ditinjau dari bentuknya, dibagi menjadi dua bagian, yaitu prosa dan puisi. Bentuk prosa dalam sastra tolaki adalah sebagai berikut : (1) o nango (dongeng), (2) tula-tula (kisah) atau cerita yang benar-benar terjadi, (3) kukua (silsilah), dan (4) pe’oliwia (pesan leluhur). Adapun karya sastra dalam bentuk puisi yaitu : (a) taenago (syair yang dilagukan), (b) kiniho atau lolama (pantun), (c) o doa (mantra), (d) singguru (teka-teki), dan (e) bitara sara (kata-kata persembahan).


BAB III
METODE DAN JENIS PENELITIAN

3.1 Metode dan Jenis Penelitian

       Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif yang bertujuan untuk mendeskripsikan nilai moral yang terkandung dalam cerita rakyat tolaki yaitu Pasaeno. Dikatakan deskriptif kualitatif karena dalam penjelasan konsep-konsepnya yang berkaitan antara satu dengan yang lain digunakan kata-kata atau kalimat dan menggunakan pemahaman yang mendalam serta tidak menggunakan data-data statistik.
       Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research). Dikatakan penelitian kepustakaan karena penelitian ini didukung oleh referensi baik berupa teks cerita rakyat maupun sumber buku penunjang lainnya yang mencakup masalah dalam penelitian ini.

3.2 Data dan Sumber Data

        Data dalam penelitian ini adalah data tertulis yang berupa teks cerita rakyat Pasaeno. Adapun sumber data penelitian ini adalah buku Kebudayaan Tolaki karya Abdurrauf Tarimana yang diterbitkan oleh Balai Pustaka, Jakarta 1993 dengan jumlah 423 halaman.
3.3 Teknik Pengumpulan Data
       Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik baca-catat, yaitu membaca kritis cerita rakyat yang akan diteliti, kemudian mencatat data-data atau informasi yang sesuai dengan penelitian ini.


3.3 Teknik Analisis Data

       Analisis data dilakukan dengan cara mentranskripsikan, mengidentifikasi, dan mendeskripsikan nilai moral yang terdapat dalam cerita rakyat tolakiyakni Pasa’eno, karya Abdurrauf Tarimana. Adapun metode analisis data diuraikan yaitu sebagai berikut :
1.    Identifikasi data, dengan memberi kode pada data yang sesuai dengan permasalahan penelitian, yaitu yang berkaitan dengan nilai moral.
2.    Klasifikasi data, yaitu mengklasifikasikan data berdasarkan permasalahan penelitian.
3.    Deskripsi data, yaitu data yang telah diklasifikasikan ke dalam bentuk paparan atau bahasan.
4.    Interpretasi data, yaitu data yang telah dideskripsikan diikuti dengan penafsiran.







BAB IV
PEMBAHASAN


4.1 Aspek Moral dalam Cerita Pasa’eno

       Berdasarkan data yang diteliti, aspek moral dalam cerita rakyat Pasaeno, dapat diklasifikasikan ke dalam 3 (tiga) aspek, yaitu : (1) Kejujuran, (2) Keberanian  (3) Ketabahan dan (4) Sikap saling menghormati antar sesama manusia. Gambaran mengenai aspek moral tersebut dapat dilihat dalam uraian berikut:

4.1.1 Kejujuran

       Jujur adalah keselarasan antara yang terucap dengan kenyataan. Jadi, jika suatu berita sesuai dengan kenyataan, maka dikatakan jujur atau benar, tetapi jika tidak, maka dikatakan dusta. Kejujuran terletak pada ucapan dan perbuatan seseorang yang sesuai dengan batinnya.

        Dalam cerita rakyat Pasaeno, masalah utama yang ingin disampaikan cerita tersebut adalah perilaku kejujuran. Kejujuran yang dimaksud dalam hal ini yaitu bagaimana pentingnya seseorang harus bersikap jujur terhadap sesuatu. Sikap jujur dapat kita temukan pada tokoh Wesande, ketika bagaimana ia memerangi tuduhan masyarakat terhadap dirinya yang mengatakan bahwa ia telah dihamili oleh seorang lelaki meski dirinya telah mengandung. Namun karena adanya ketidak sesuaian kenyataan antara perbuatan dan kenyataan dalam dirinya, Wesande tetap mempertahankan perkataannya meski dihakimi oleh masyarakat dengan mengusirnya dari kampung. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut :
“Wesande selalu menyangkalnya bahwa dirinya tidak pernah bersama dengan seorang lelaki, hanya karena ia pernah meminum air di daun ketika mengambil daun pandan.namun masyarakat tidak mempercayainya.”

       Kejujuran Wesande juga dapat dilihat pada sumpah yang dilakukannya yaitu :
 “Jika benar aku telah bersama dengan lelaki yang menyebabkan aku hamil, maka apabila aku melahirkan, itulah yang akan merenggut nyawaku, namun jika bukan, maka aku akan selamat berumur panjang dan anakku akan menjadi orang yang mubarak di kemudian hari.”

       Sikap kejujuran yang dilakukan oleh tokoh tersebut, seperti pada kutipan di atas mengajarkan bagaimana kita harus bertumpu pada kebenaran hidup dengan mempertahankan segala sesuatu yang memang pada dasarnya dianggap benar meskipun nyawa harus menjadi taruhannya.

4.1.2 Keberanian

       Keberanian yang dimaksud dalam hal ini yaitu kesetiaan terhadap suara hati yang menyatakan diri dalam kesediaan untuk mengambil resiko konflik. Orang yang berani secara moral akan membuat pengalaman yang menarik. Setiap kali ia berani mempertahankan sikap yang diyakini, dia merasa lebih kuat dan berani dalam hatinya, dalam arti bahwa ia semakin dapat mengatasi perasaan takut dan malu yang sering mencekam.
        Sikap keberanian moral yang terkandung dalam cerita rakyat Pasaeno  dapat kita temukan pada saat Wesande berani mempertahankan perkataan dan sumpah yang dicapkannya di hadapan masyarakat sekampungnya. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut :
“Jika benar aku telah bersama dengan lelaki yang menyebabkan aku hamil, maka apabila aku melahirkan, itulah yang akan merenggut nyawaku, namun jika bukan, maka aku akan selamat berumur panjang dan anakku akan menjadi orang yang mubarak di kemudian hari.”

       Selain keberanian yang berwujud ucapan sumpah yang dilakukan oleh Wesande terhadap dirinya, sikap keberanian lain yang dimiliki oleh Wesande juga terlihat  ketika ia berani menerima resiko konflik yang terjadi antar dirinya dan masyarakat sekampung. Resiko itu terlihat disaat Wesande harus diusir dari kampung dan dipindahkan di suatu hutan yang tidak berpenghuni. Seperti yang terlihat dalam kutipan berikut :
                     “Meskipun Wesande telah mengutuk dirinya dengan bersumpah, tetapi tidak ada         seorang pun yang mempercayainya. Diusirlah dirinya dari rumah keluarganya dan dibuatkanlah rumah di tengah hutan, lalu ia tinggal seoarang diri hingga melahirkan.”

       Ketekadan Wesande untuk mempertahankan sikap yang telah diyakininya merupakan sesuatu hal yang patut diteladani oleh setiap manusia baik berani dalam mempertahankan sikap maupun berani untuk melawan segala ketidak adilan.

4.1.3 Ketabahan

       Ketabahan merupakan proses kekuatan jiwa seseorang dalam menghadapi penderitaan akibat penyakit atau cobaan hidup yang dihadapkan pada masalah interaksi, relasi, dan kehilangan orang terdekat. Konsep ketabahan bukan saja proses yang identik dengan kemiskinan sandang-pangan, tetapi bagaimana cara seseorang menghadapi atau mengurai suatu masalah baik ketika menderita, menghadapi cobaan, hukuman karma dan sebagainya.
        Dalam cerita Pasaeno, ketabahan sangat dijunjung tinggi, seperti yang terlihat pada tokoh Wesande. Dalam cerita rakyat ini, tokoh Wesande dikisahkan sebagai seseorang yang tabah dalam menghadapi cobaan  yang datang secara mendadak dalam kehidupannya.  Kehamilan dirinya yang terjadi secara tiba-tiba dan ia tidak mengerti tidak membuatnya putus asa dalam menghadapi segala masalah yang ia hadapi. Bahkan ujian yang menimpanya berubah menjadi kekuatan dirinya dalam menghadapi masalah.
        Hal ini dapat dilihat pada kutipan ceritanya:
“Wesande selalu menyangkalnya bahwa dirinya tidak pernah bersama dengan seorang lelaki, hanya karena ia pernah meminum air di daun ketika mengambil daun pandan. Namun orang-orang sekampung tidak mempercayainya. Kemudian Wesande mengutuk dirinya dengan berkata bahwa “jika benar aku telah bersama dengan lelaki yang menyebabkan aku hamil, maka apabila aku melahirkan, itulah yang akan merenggut nyawaku, namun jika bukan, maka aku akan selamat berumur panjang dan anakku akan menjadi orang yang mubarak di kemudian hari.” Meskipun Wesande telah mengutuk dirinya dengan bersumpah, tetapi tidak ada seorang pun yang mempercayainya. Diusirlah dirinya dari rumah keluarganya dan dibuatkanlah rumah di tengah hutan, lalu ia tinggal seoarang diri hingga melahirkan.”

       Kutipan di atas yang berisi pernyataan sumpah yang dilakukan oleh Wesande, adalah ketabahann moral yang begitu kuat dalam menghadapi cobaan hidupan. Kekuatan jiwa Wesande yang melahirkan ketabahannya disaat menerima cobaan merupakan suatu contoh yang mesti dijadikan teladan bagi setiap manusia.

4.1.4 Sikap Saling Menghormati Antar Sesama  Manusia

      Sikap saling menghargai adalah suatu sikap yang harus dimiliki oleh setiap manusia. Saling menghormati atau menghargai di tengah pergaulan hidup merupakan sesuatu hal yang sangat essensi di tengah-tengah pergaulan. Oleh karena itu, setiap manusia mempunyai tanggung jawab moral untuk mempertahankan dan mewujudkan citra yang baik dengan menampakkan tutur kata, sikap dan tingkah laku, cara berpakaian dan cara bergaul.
       Salah satu sentral masalah dalam cerita rakyat Pasaeno, yaitu mengenai tidak adanya sikap saling menghargai antar sesama tokoh dalam cerita tersebut, yakni Wesande dan masyarakat sekampung. Hal ini terlihat pada sikap masyarakat sekampung yang langsung meleparkan tuduhan terhadap Wesande bahwa dirinya telah dihamili oleh seorang lelaki tanpa menanyakan terlebih dulu mengenai hal tersebut dengan cara terhormat. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut :
“dituduhlah ia oleh masyarakat sekampung bahwa dirinya telah dihamili. Tetapi Wesande selalu menyangkalnya bahwa dirinya tidak pernah bersama dengan seorang lelaki, hanya karena ia pernah meminum air di daun ketika mengambil daun pandan. Namun orang-orang sekampung tidak mempercayainya.”
       Sikap tidak saling menghargai juga nampak pada kutipan berikut :
“Diusirlah dirinya dari rumah keluarganya dan dibuatkanlah rumah di tengah hutan, lalu ia tinggal seoarang diri hingga melahirkan.”

       Kedua kutipan cerita rakyat Pasaeno di atas, jelas memperlihatkan keadaan masyarakat yang tidak mengenal sikap saling menghormati antar sesama umat. Cermin sikap-sikap tokoh dalam kutipan cerita tersebut menandakan kondisi kelompok masyarakat yang masih buta tentang nilai-nilai kehidupan dalam masyarakat. Hal ini tentu mempunyai hubungan mengenai konsep kepercayaan masyarakatnya di masa lalu yang biasa menganut kepercayaan terhadap roh-roh yang mengakibatkan lahirnya sikap masyarakat yang tidak mengenal asas kehidupan.


BAB V
KESIMPULAN

5.1 Simpulan

       Berdasarkna hasil penelitian yang telah dipaparkan pada bab-bab sebelumnya, maka penulis dapat memberi simpulan dari penelitian ini, bahwa cerita rakyat tolaki yang berjudul Pasa’eno karya Abdurrauf Tarimana, terdapat tiga aspek nilai moral yaitu kejujuran, keberanian, dan sikap saling menghormati antar sesama manusia. Nilai-nilai moral tersebut dapat dijadikan sebagai pedoman hidup manusia.

5.2 Saran

       Berdasarkan kesimpulan di atas, maka saran yang ingin disampaikan penulis kepada pembaca adalah sebagai berikut :
1.    Pembaca dan penikmat karya sastra hendaknya dapat mengambil pelajaran moral yang terdapat dalam cerita rakyat Pasa’eno karya Abdurrauf Tarimana dan dijaadikan sebagai pedoman hidup untuk selalu melakukan hal yang baik sebagai cermin kehidupan.
2.    Untuk kepentingan pembelajaran sastra, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai salah satu wawasan dalam memahami karya sastra ysng dapat mencakup pembelajaran di keluarga, di sekolah, maupun di tengah masyarakat.


DAFTAR PUSTAKA

Tarimana, Abdurrauf. 1993. Kebudayaan Tolaki. Jakarta: Balai Pustaka.
Hadiwardoyo, Al. Purwa. Moral dan Masalahnya.1994. Yogyakarta: Kanisius.
Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta:   Pustaka Pelajar.
Hariwijaya, M & Djaelani, Bisri M. 2004. Teknik Menulis Skripsi dan Tesisis. Yogyakarta:          Hanggar Kreator.
Team reality. 2008. Kamus Terbaru Bahasa Indonesia. Surabaya: Reality Publisher.




LAMPIRAN

CERITA RAKYAT TOLAKI YANG BERJUDUL PASAENO DALAM BUKU KARYA ABDURRAUF TARIMANA

Pasa,eno
        La’ito o’aso otembo anolako i Wesande me’onaha anotekoni moko’uono. Lako’ito lumolambua meopolaha iwoi, mano tano onggiki hae itomo iwoi. Ieto bara sinuano iwoi la ine tawa toho. Mahio’ito nomoko’uono to’oto notehanungge noiwoi ine tawa ano ale uminu’i.
       Ietoka bara ona nggiro’o ano mendia i Wesande. Te’embe hae tano langgi wawo rapu. Ropendutulu’ito ona tono dadio nomosa’ato gau-gauno, pinokomendia. Mano lala’ieto i Wesande nopehapu, ki’oki no’ari medulu’ako langgai, ano tekoni mendia, ieika no’ari mo’inu iwoi ine tawa ndoho, laha’ano lako me’onaha, mano tanionggi parasaea’i.
       Lakonoto i Wesande meotonao, te’eni, “ako ambato ari medulu’ako langgai akumendia, ma, kekupe’ana ma nggo ieto wawo’aku, akutomate sumurundia. Ie keno ta ieki, ma, akuki melai ndoro, kekila barakano ananggu matu oleo peromboi.”
       Mano mbako i Wesande meotonao tano pinarasea. Pinotuha’ito ari laikano peohaino lako pinelaika’ako i ahoma anopo’ia dowo sambe ano pe’ana dowo. Sina ropembodea’i Wesande nope’anato ronga salama’ika iepo ona aro la iha-iha mbebarasaea’i notano pinoko-mendiaki.
       Elengua’iropo mbebarasaea’i notudu ona ari lahuene bangga-bangga la lako umula’i mbera parewa mbesosambakaino anano i Wesande. Ieto la lako wawe’i nggiro’o obangga no’amano anano i Wesande, ari i wawo sangia.
       Ieto la lako niawono nopetuha amano, watu mbeosambakai, pingga mbebahoano anano. Ari’ipo ona anano i Wesande sinosambakai iepo ona amano nopondamoke tamono anano ieto bara i Pasa’eno.
       Mbesombairoto ona tono dadio ako ine amano i Pasa’eno nosangia toude, ronga lako kei Pasa’eno no’ana sangia. Sambe ingoni oleo laha’iroika nggiro’oro parewa mbesosambaino i Pasa’eno. I Pasa’enoto ona ni’ino mbepuearo mbera tono tinamoako tano anakia, tano o’ata.

Arti dalam bahasa indonesia:
Pasa,eno
      Pada suatu hari pergilah Wesande mengambil daun pandan di hutan. Ketika ia mengambil daun pandan, tiba-tiba dirinya merasa kehausan. Ia lalu mencari air, tetapi ia tidak menemukannya. Konon air yang ditemukannya adalah air otoho (sejenis pohon yang subur).
       Karena merasa sangat kehausan, maka ia tidak peduli lagi sumber air yang diminumnya. Akibat air yang diminumnya itu, tiba-tiba ia kemudian menjadi hamil. Berhubung ia tidak berstatus sebagai istri orang, maka dituduhlah ia oleh masyarakat sekampung bahwa dirinya telah dihamili. Tetapi Wesande selalu menyangkalnya bahwa dirinya tidak pernah bersama dengan seorang lelaki, hanya karena ia pernah meminum air di daun ketika mengambil daun pandan. Namun orang-orang sekampung tidak mempercayainya.
    Kemudian Wesande mengutuk dirinya dengan berkata bahwa “jika benar aku telah bersama dengan lelaki yang menyebabkan aku hamil, maka apabila aku melahirkan, itulah yang akan merenggut nyawaku, namun jika bukan, maka aku akan selamat berumur panjang dan anakku akan menjadi orang yang mubarak di kemudian hari.”
       Meskipun Wesande telah mengutuk dirinya dengan bersumpah, tetapi tidak ada seorang pun yang mempercayainya. Diusirlah dirinya dari rumah keluarganya dan dibuatkanlah rumah di tengah hutan, lalu ia tinggal seoarang diri hingga melahirkan.
       Setelah masyarakat mendengar bahwa Wesande telah melahirkan dengan selamat, barulah mereka percaya jika dirinya tidak dihamili. Mereka pun semakin percaya ketika turun dari langit sebuah perahu yang memuat segala peralatan upacara permandian bayi Wesande. Perahu tersebut dibawah oleh ayah anak Wesande yang berasal dari kayangan.
        Peralatan yang dibawanya ketika ia turun adalah batu alat untuk memandikan Si bayi, dan piring besar sebagai tempat memandikannya. Setelah bayi Wesande dimandikan, barulah mereka memberi nama bayi itu dengan nama Pasa’eno.
       Masyarakat sekampung kemudian menyembah kepada ayah Pasa’eno sebagai dewa nyata serta terhadap Pasa’eno sebagai anak dewa. Peralatan mandi bayi Pasa’eno  masih ada. Pasa’eno inilah yang dikenal sebagai nenek moyang dari mereka yang tergolong kaum bukan bangsawan dan bukan pula budak.




ANALISIS KESALAHAN BERBAHASA

   
Berikut adalah beberapa contoh atau bukti-bukti kesalahan dalam belajar bahasa Inonesia, yaitu sebagai berikut: 

a. Kekurangan Kognitif

    Contoh kesalahan belajar bahasa pada aspek kognitif dalam hal kesulitan mem bentuk kosep dalam mengembangkan ke dalam unit-unit semantik, yaitu ketika anak belum mampu membedakan penggunaan kata “pertandingan” dan “perlombaan” pada saat mengutarakan sesutu. Pada saat kondisi tertentu misalnya ketika melihat perlombaan baca dan tulis puisi di sekolah, perlombaan cerdas cermat di televisi, maka anak biasa menggunakan kata pertandingan. Begitupun ketika anak menyaksikan pertandingan bola kaki, maka seorang anak cenderung menggunakan istilah perlombaan. Penggunaan kedua kata tersebut sering dipertukarkan oleh penuutur bahasa dalam masyarakat. Padahal konsep dan penggunaan kedua kata tersebut sangat berbeda, dimana istilah “pertandingan” pemakaiannya cenderung digunakan pada hal yang menyangkut kemampuan fisik, namun bukan berarti daya pemikiran dikesampingkan. Begitupun sebaliknya pada istilah “perlombaan”, sebenarnya penggunaanya lebih cenderung melihat pada daya pemikiran, dan bukan berarti kemampuan fisik juga dikesampingkan. Kesalahan seperti ini biasa disebabkan karena kurangnya pemahaman kosep tentang kedua kata tersebut.

b. Kekurangan Memori
   
    Bukti kesalahan belajar bahasa dalam aspek kekurangan memori, yakni pada saat anak menyimak tentang sesuatu hal, ia lambat dalam menanggapinya. Selain itu, ketika anak memperoleh suatu informasi ia mudah melupakan tentang sesuatu yang telah didengar atau dilihatnya. Kesalahan belajar bahasa  tersebut merupakan masalah yang biasa terjadi ataupun ditemukan pada anak.


c. Kekurangan Kemampuan Menilai

    Bukti kesalahan belajar bahasa dalam aspek kekurangan kemampuan menilai. Kesalahna seperti ini biasa terjadi pada orang baik yang belum faham  tentang suatu konsep bahasa, maupun orang yang  telah faham tentang suatu konsep bahasa. Contohnya pada kata “mengapa” dan “kenapa”, dimana kata mengapa merupakan kata yang baku dan kata kenapa tidak baku. Kesalahan berbahasa tersebut biasa terjadi pada orang yang tidak memahi kedua kata itu maupun yang sudah faham tetapi ketika berbicar ia cenderung menggunakan kata kenapa. Hal ini disebabkan oleh adanya faktor kebiasaan dalam menggunakan kata kenapa dalam berkomunikasi sehari-hari. Bukti nyata tersebut merupakan sesutu hal yang membutuhkan penilaian kritis terhadap informasi yang memerlukan perbandingan antara informasi baru dan informasi yang telah diperoleh sebelumnya.

d. Kekurangan Kemampuan Memproduksi Bahasa

    Bukti kesalahan belajar bahasa dalam aspek kekurangan kemampuan  memproduksi bahasa, yaitu dapat dilihat pada anak yang kurang memproduksi bahasa seperti membiasakan diri memproduksi bahasa dalam bentuk lisan (mengungkapkan  berbagai pendapat) dan tulisan (menulis cerita, menulis puisi, menulis buku harian, menulis karya tulis ilmiah dan sebagainya) dengan anak yang tidak biasa  membiasakan diri memproduksi bahasa dalam bentuk lisan dan tulisan, akan memiliki kemampuan yang berbeda. Anak yang kurang tidak membiasakan diri memproduksi bahasa dapat disebabkan oleh adanya timbul kurangnya keinginan untuk bertindak, malu dalam mengemukakan pendapatnya di hadapan orang lain atau orang banyak, kuranya keberanian untuk bertindak, serta kurangnya wawasan tentang sesuatu hal.



e. Kekurangan Kemampuan Pragmatik

    Bukti kesalahan belajar bahasa dalam aspek kekurangan pragmatik, yaitu ketika anak menerima pertanyaan atau tanggapan dari temannya, dia lebih memilih diam dibanding memberikan tanggapan terhadap pertanyaan yang diterimanya. Disamping itu, ketika anak mengajukan suatu masalah yang dapat berupa pertanyaan ataupun pernyataan, ia kurang mampu mengutarakan pendapatnya dengan baik atau mengatur cara berdialog dengan orang lain.

MASYRAKAT SULTRA PERLU SIAGA TERHADAP VIRUS HIV/AIDS


    Dalam memperingati hari AIDS sedunia yang jatuh pada tanggal 1 Desember, salah satu organisasi FKIP-Unhalu yaitu Lingkar Studi Ilmiah dan Penalaran (LSIP) bekerjasama dengan lembaga Komisi Penanggulangan Aids (KPA) kota Kendari mengadakan pertemuan di Aula FKIP-Unhalu. Pertemuan tersebut dihadiri oleh dua orang narasumber dari dua lembaga yang berbeda yaitu dr. Rahminingrum.M.Kes saat ini menjabat sebagai sekretaris KPA kota Kendari dan Dr. Abdul Halim Momo, MA, sebagai salah satu dosen FKIP serta sebagai kepala administrasi pasca sarjana Unhalu.Dalam pertemuan tersebut, dr. Rahminingrum.M.Kes menyatakan bahwa masyarakat Sultra mulai saat ini sudah harus memproteksi diri terhadap perkembagan virus HIV/AIDS, sebab saat ini Sultra bukan lagi daerah yang bebas dari virus  yang mematikan itu. Pasalnya, setelah pemerintah kota mengadakan sosialisasi di beberapa tempat, kini telah mencatat sekitar 51% positif telah terjangkit virus HIV/AIDS diantaranya seorang balita telah terjangkit dari ibunya. Ketika mencoba melakukan penelusuran melalui jalur internet, berhasil menemukan informasi dari Lembaga Advokasi HIV/AIDS (LAHA), menyatakandari hasil pendataan selama empat bulan pada tahun 2010 saat ini penderita HIV/AIDS Sultra mencapai 105 orang. Adapun temuan penderitanya di Sultra yaitu dari Kabupaten Wakatobi 4 kasus, Kota Kendari 2 kasus, Kabupaten Muna 2 kasus, dan Kabupaten Buton 2 kasus.  Dari data-data tersebut merupakan sesuatu hal yang sangat mengkhawatirkan melihat penderita virus HIV/AIDS bukan hanya berasal dari kalangan dewasa saja, tetapi cukup banyak penderitanya dari usia anak-anak hingga ada yang masih usia balita.

    Dr. Rahminingrum.M.Kes menyampaikan bahwa penularan virus HIV/AIDS disebabkan oleh beberapa faktor yaitu melalui hubungan seks bebas baik berbeda jenis kelamin maupun sesama jenis kelamin, melalui jarum suntik yang digunakan secara bergantian pada pemakai narkoba, melalui ibu hamil kepada bayinya, melalui operasi dengan alat-alat kedokteran yang tidak steril ( kemungkinan sangat kecil), dan melalui transfusi darah (kemungkinan sangat kecil). Disamping itu ia menambahkan bahwa virus HIV/AIDS hanya hidup di empat cairan tubuh manusia yaitu darah, cairan vagina, cairan sperma dan pada Air Susu Ibu (ASI). Oleh karena itu virus mematikan tersebut dapat menjangkiti pada siapa saja.

    Melihat mayoritas penderita HIV/AIDS menempati posisi teratas yaitu pada usia produktif antara 20 sampai 39 tahun, tentunya pada rentan usia ini masuk pada kelompok dewasa atau mahasiswa, maka Dr. Abdul Halim Momo, MA, turut menambahkan bahwa untuk menghindari virus berbahaya ini tidak hanya sampai batasan eksternal saja, tetapi secara internal juga, dalam hal ini perlu adanya penanaman kesadaran terhadap setiap individu diantaranya dengan membangun pemikiran dan lingkungan yang positif, bergaul dengan teman yang positif serta membangun kecerdasan intelektual maupun emosional.

RENDRA DAN TRADISI TEATER MODERN

       “Si Burung Merak”. Siapa yang tak kenal dengan sapaan itu? Iya, tentu saja dibalik itu adalah Rendra. Sesosok yang memiliki  multitalenta dalam berpikir dan bertindak yang tidak hanya dalam ruang lingkup kesenian dalam hal ini penyair, penulis cerpen, dan dramawan, tetapi juga dari aspek lain bahkan yang bertentangan dengan  prinsip berkesenian seperti aktivis sosial. Ia mampu menciptakan dirinya seperti burung merak indah yang memiliki tubuh kecil namun, keindahan dalam hal ini kemampuan yang dimilikinya mampu   menyihir kita atau membuat orang terpukau bagi siapa saja yang menegenalnya. Rendra memiliki imajinai luar biasa, yang meninggalkan sejuta kenagan berupa karya-karyanya yang mampu mengubah keadaan menjadi lebih baik.  Sekumpulan harapan melalui karya-karyanya akan terus hidup, meski raganya telah lenyap, namun ia akan selalu tetap hidup dalam rontakan karya-karyanya sebagai usahanya untuk mewujudkan keinginannya dalam menciptakan perkembangan baru sebagai upaya untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik dalam  aspek kehidupan.  
       Sesuai dengan tema tersebut, dalam tulisan kali ini kami akan membahas tentang Rendra dalam pandangannya mengenai ‘tradisi teater modern’ saat ini dalam masyatakat. Tradisi merupakan inti dari pembahasan ini. Mengingat kedudukan tradisi sangat penting dalam masyarakat yaitu sebagai pembimbing pergaulan bersama, dalam kehidupan kreatifnya, Rendra  mencoba menjelaskan bahwa tradisi bukanlah objek yang mati, melainkan objek yang hidup yang melayani manusia yang hidup pula bukan sekedar warisan nenek moyang yang diwariskan secara turun temurun sebagaimana yang diketahui oleh banyak orang, tetapi tidak berarti bahwa kita hanya memiliki kewajiban untuk merawatnya dengan baik dan takut mengusiknya, apalagi mengembangkannya. Jika masyarakat berpikir demikian, maka tradisi akan beku. Apabila tradisi telah beku atau dibekukan, maka ia akan merugikan pertumbuhan pribadi dan kemanusiaan.  Oleh karena itu, Rendra menegaskan bahwa anggapan masyarakat tersebut terhadap tradisi harus diberontak, dicairkan, dan diberi perkembangan baru seperti yang telah dilakukannya. Hal ini tidak harus dimaknai sebagai sikap antitradisi melainkan sumbangsi terhadap tradisi sehingga menjadi lebih modern. Disamping itu, dengan memberontak terhadap tradisi, Rendra berusaha mengembangkan tradisi karena ia yakin bahwa tradisi diciptakan manusia untuk kepentingan hidupnya dan untuk bekerja. Demikianlah maka dikatakannya, “Saya mengembangkan tradisi dan tradisi mengembangkan saya.”
       Ketika Rendra membicarakan perkembangan drama modern di negeri ini, dengan lugas ia mengatakan bahwa kedudukannya masih goyah. Kegiatan yang dilakukan oleh pekerja drama modern, seperti dirinya adalah hasil pengaruh kebudayaan asing. Menurutnya masyarakat kita, masih berada dalam bayang-bayang tradisi lisan, sehingga ketika berhadapan dengan tradisi aksara menjadi kekuk dan merasa tidak bisa memahami apa yang dihadapinya. Ketidakpahaman itu tidak bersumber pada isi atau masalah yang disampaikannya, tetapi pada bentuk drama itu yang timbul dari kalangan elit yang tidak puas dengan tradisi lisan. Kurangnya drama modern Indonesia dari dorongan, cambukan, dan kontrol menyebabkan Indonesia tidak memiliki kritikus drama yang baik. Padahal kita membutuhkan kritikus untuk memajukan kesenian. Sehubungan dengan hal itu, Rendra mencoba membandingkan antara keadaan drama di negeri kita dengan situasi yang telah berlangsung di Barat yaitu bangsa Yunani dalam beberapa ribu tahun yang lalu tentang pengembangan tradisi tulis dalam seni pertunjukan. Dikatakannya bahwa  pementasan drama di bangsa Yunani berdasarkan naskah yang sudah ditulis terlebih dahulu, jauh sebelum mengembangkan tradisi tulis dibidang kesenian lain seperti yang kita kenal saat ini sebagai fiksi dan puisi. Bangsa itu justru telah mulai memanfaatkan aksara dengan sungguh-sungguh untuk pementasan drama, sehingga gagasan dan pengalaman hidup mereka tercatat pada taraf tertentu bisa dianggap ‘abadi’ karena tersedia residu yang berupa aksara tetapi juga mengakibatkan perkembangan disiplin berpikir dalam tulisan. Sementara itu, di Indonesia Rendra menyebutkan pementasan drama yang improvisatoris tanpa naskah, misalnya jenis-jenis teater rakyat seperti ketoprak dan ludrug. Jenis seni tradisional tersebut masih berkembang hingga saat ini namun,tradisi itu  ternyata hanya mampu bertahan sebatas pada tradisi lisan, sementara masyarakat tidak suka memberontak terhadap tradisi lisan tesebut, sehingga tentunya tidak bisa lagi menampung pengalaman dan penghayatan hidup modern ini, sebab sejak mengenal aksara, masyarakat tidak lagi bisa sepenuhnya menyandarkan pengetahuannya pada memori semata-mata.
       Beberapa esainya Rendra menyinggung dua hal fasilitas penting yang tidak pernah terpikirkan dalam tradisi lisan, yang pertama yaitu keluhan pekerja drama modern tentang miskinnya fasilitas. Kedua, yaitu sikap sebagian pekerja teater untuk menghasilkan hiburan dulu, nanti mencoba yang lebih serius. Bagi Rendra, fasilitas itu bukanlah gedung dan segala macam peralatan yang diperlukan dalam pelaksanaan pementasan teater, tetapi diri dramawan itu sendiri yaitu tubuh, pikiran dan imajinasinya. Semua itu merupakan gudang harta yang tidak bisa dipengaruhi oleh kemiskinan. 
       Rendra menyodorkan konsep ‘kegagahan dan kemiskinan’ terhadap segala bentuk keluhan yang muncul di kalangan pekerja teater modern. Ia menyatakan ‘kemarahannya’ terhadap berbagai usaha untuk menyerah atau kompromi dengan situsi itu. Dia mengakui bahwa kita miskin, namun bukan berarti sebagai alasan keadaan yang boleh memaafkan kita karena tidak berbuat apa-apa. Bahkan dikatakannya, tindakan untuk mengkompromikan kualitas dengan selera umum adalah hal yang absurd. Disamping itu, menurutnya dalam keadaan seperti itu, teater kita harus cenderung lebih spiritual dan tidak spektakuler. Ini erat kaitannya dengan hubungan antara miskinnya fasilitas dan kualitas kesenian. Kita harus merasa ‘gagah’ dalam kemiskinan. Sebab, kita akan terus-menerus miskin jika kita terus membandingkan apa yang telah kita miliki dengan kekayaan masyarakat lain.
       Dalam kaitannya dengan kehidupan modern yang bergoyang antara kelisanan dan keberaksaraan, Rendra kembali mengingatkan akan pentingnya fungsi kritik yang direkam dalam aksara sebab menurutnya, hanya kritik tertulislah yang dapat dilacak untuk dikembangkan demi berlangsungnya kehidupan berkesenian. Selain itu, Rendra kembali berpesan bahwa kini kita harus memulai tradisi baru, yakni menulis ketoprak serta menulis kritik atas karya itu. Dalam upaya pemberontakan dan perlawanan terhadap tradisi, sejalan gagasan yang disampaikannya.

Senin, 05 Desember 2011

Tradisi Kalosara dalam Masyarakat Tolaki


Tulisan yang membahas tentang budaya suku bangsa  seperti ini memang perlu dihadirkan, apa lagi di zaman seperti ini kita tidak bisa memungkiri bahwa kurangan pengetahuan atau pemahaman para generasi muda terhadap budayanya sendiri, maka tidak mengherankan jika dalam masyarakat indonesia pada saat ini dapat dikatakan bahwa kemajemukan adalah suatu tantangan yang besar. perbedaan suku, ras, golongan dan agama sering menjadi pemicu pertikaian, walaupun hal itu pada hakekatnya bukanlah inti dari sumber pertikaian yang terjadi. namun karena kurangnya wawasan terhadap apa yang menjadi keyakinan agama lain, membuat setiap agama hidup dalam kefanatikan yang berujung malapetaka bagi dirinya secara khusus dan bagi bangsa dan negara secara umum. untuk menepis terjadinya hal-hal yang kurang bermoral tersebut, sangat diperlukan adanya rekonsiliasi agar timbul saling pengertian dari kehidupan yang penuh toleransi antara satu golongan dengan golongan yang lain.
 Dalam tulisan ini akan membahas salah satu kebudayaan suatu suku yaitu suku tolaki yang merupakan  salah satu suku diantara suku lain yang mendiami daratan sulawesi tenggara. tulisan ini akan memahamkan kita sebagai pembacanya tentang seberapa jauh peranan kalo dalam kebudayaan suku tolaki sehingga dapat dijadikan sebagai simbol tertinggi dan dianggap sebagai pusat yang mengaitkan menjadi satu diantara berbagai unsur  kehidupan masyarakat suku tolaki.

Pengertian Kalo
Secara harfiah kalosara atau yang biasa disebut  kalo adalah suatu benda yang berbentuk lingkaran, cara-cara mengikat yang melingkar, dan pertemuan-pertemuan atau kegiatan bersama dimana pelaku membentuk lingkaran. selain itu, kalosara merupakan lambang pemersatu dan perdamaian yang sangat sacral dan tetap dipandang keramat oleh suku tolaki yan selalu tampil dalam berbagai bentuk upacara ritual atau upacara adat dalam kehidupan suku tolaki.
Penghargaan kalo sebagai simbol tertinggi  yang sudah lama dijunjung oleh masyarakat suku tolaki telah menjadi sesuatu benda yang keramat dan  perlu dijaga serta dilestarikan. hal ini karena adanya keterkaitan erat antara kalo dan system yang mengatur kehidupan suku tolaki, yaitu mencakup seluruh perwujudan adat istiadat, mulai dari system kehidupan social hingga ekonomi yang bercorak tradisional, system budaya yang mencakup bahasa, seni, keagamaan, hingga sampai pada system pengkonsepsian untuk memandang manusia dalam kaitan eratnya dengan alam semesta.
Secara fisik, kalosara ini diwujudkan dengan seutas rotan berbentuk lingkaran yang kedua ujungnya disimpul lalu diletakkan di atas selembar anyaman kain berbentuk bujur sangkar. tradisi yang tetap lestari hingga saat ini, biasa digelar dalam berbagai acara, seperti halnya acara perkawinan atau penyelesaian suatu pertikaian atau perselisihan dalam kehidupan masyarakat suku tolaki yang saat ini sebagian besar tersebar di wilayah kabupaten konawe, kabupaten konawe selatan, kabupaten konawe utara, kota kendari dan masyarakat suku tolaki yang kini sudah tersebar di  wilayah lainnya.

Jenis-Jenis Kalo
Berdasarkan bahan pembuatan dan tempat penggunaannya, kalo dapat dibedakan dalam beberapa jenis, yaitu sebagai berikut :
1.    kalo yang terbuat dari rotan,  dalam jenis ini ada yang disebut dengan

·        kalo sara, yaitu  kalo yang digunakan sebagai alat upacara perkawinan adat, upacara pelantikan raja di zaman kerajaan, upacara penyambutan adat bagi para pejabat pemerintah yang berkunjung ke daerah tau ke desa-desa, upacara perdamaian atas suatu sengketa, alat bagi sejumlah tokoh adat untuk menyampaiakan sesuatu hal penting kepada raja, alat untuk menyampaikan undangan pesta keluarga. penggunaan kalo sara jenis ini dilengkapi dengan wadah anyaman dari tangkai daun palam dan kain putih sebagai alas dari wadah tersebut.
·        kalo tusa i tonga, yaitu kalo yang dipakai sebagai pengikat tiang tengah rumah.
·        kalo holunga, yaitu kalo yang dipakai untuk mengikat hulu parang, senjata, dan alat-alat produksi lainnya.
·        kalo o wongge, yaitu kalo sebagai pengikat aneka ragam wadah.
·        kalo ohotai, o taho, kalo ohopi, yaitu macam-macam kalo yang digunakan untuk menangkap ayam hutan, dan aneka ragam burung.
·        kalo o oho, yaitu kalo yang digunakan untuk menangkap kerbau liar, kuda dan anuang.
·        kalo selekeri, yaitu kalo yang digunakan sebagai cincin hidung kerbau.

2.    kalo yang terbuat dari emas,
·        kalo eno-eno, yaitu kalo yang digunakan sebagai alat upacara sesaji, alat tebusan sebagai pelanggaran janji untuk melangsungkan upacara peminangan gadis dalam rangkaian perkawinan, sebagai salah satu dari mas kawin, dan dipakai sebagai kalungperhiasan bagi wanita.

3.    kalo yang terbuat dari besi,
·        kalo kalelawu, yitu kalo yang digunakan sebagai cincin hidung kerbau, seperti halnya dengan kalo selekeri.

4.    kalo yang terbuat dari perak
·        kalo sambiala, kalo bolosu, dan kalo o langge, yaitu kalo yang masing-masing dipakai untuk perhiasan dada, perhisan pergelangantangan, perhiasan pergelangan kaki, baik bagi anak-anak maupun gadis remaja.

5.    kalo yang terbuat dari benang,
·        kalo kale-kale, yaitu kalo yang dipakai sebagai pengikat pergelangan tangan dan kaki bayi.
·        kalo ula-ula, yaitu kalo yang digunakan sebagai alat berita atau pengkabaran tentang adanya orang meninggal.

6.    kalo yang terbuat dari kain putih,
·        kalo lowani, yaitu kalo yang dipakai di kepala sebagai tanda berkabung
7.    kalo yang tebuat dari kain biasa
·        kalo usu-usu, yaitu kalo yang dipakai di kepala sebagai pengikat atau penutup kepala bagai oarang tua.
8.    kalo yang terbuat dari akar atau kulit kayu,
·        kalo pebo, yaitu kalo yang dipakai sebagai pengikat pinggang bagi orang dewasa.
·        kalo kalepasi, yaitu kalo terbuat dari akar bahar  yang digunakan sebagai perhiasn orang dewasa.
·        kalo parahi atau kalo mbotiso, yaitu kalo yang digunakan sebagai tanda atau patok pemilikan tanah hutan untuk selanjutnya diolah menjadi sebuah lading atau kintal.
9.    kalo yang terbuat dari daun pandan,
·        kalo kalunggalu, yaitu kalo yang dipakai sebagai pengikat kepala bagi gadis remaja.
10. kalo yang terbuat dari bamboo,
·        kalo kinalo, yaitu kalo yang digunakan sebagai penjaga kintal dan tanaman yang ada di dalamnya.
11. kalo yang terbuat dari kulit kerbau
·        kalo parado, yaitu kalo yang digunakan untuk menangkap kerbau liar.


Secara umum, kalo meliputi osara (adat-istiadat), khususnya sara owoseno tolaki atau sara mbu’uno tolaki, yaitu adat pokok yang merupakan sumber dari segala adat-istiadat  yang berlaku dalam segala aspek kehidupan suku tolaki.  sebagai adat pokok, kalo dapat digolongkan ke dalam beberapa bagian yaitu:
-         sara wonua, yaitu adat pokok dalam pemerintahan
-         sara mbedulu, yaitu adat pokok dalam hubungan kekeluargaan dan persatuan pada umumnya
-         sara mbe’ombu, yakni adat pokok dalam aktifits agama atau kepercayaan
-         sara mandarahia, yaitu adat pokok dalam pekerjaan yang berhubungan dengan keahlian dan keterampilan
-         sara monda’u, mombopaho, mombakani, melambu, dumahu, meoti-oti, yaitu adat pokok dalam berladang, berkebun, berternak, berburu dan menagkap ikan.
-         sara mberapu, yaitu adat perkawinan yang mengatur dan menetapkan tatacara melamar, memilih jodoh atau segala sesuatu yang berhubungan dengan urusan dalam berumah tangga.

Fungsi Kalo      
Adapun fungsi kalo dalam suku tolaki yaitu sebagai berikut :
v  kalo sebagai ide dalam kebudayaan dan sebagai kenyataan dalam kehidupan orang tolaki
Kalo pada tingkat nialai budaya adalah system nilai budaya yang berfungsi mewujudkan ide-ide yang mengkonsepsikan hal-halyang paling bernilai dalam kehidupan kasyarakat suku tolaki. ide-ide ini dinyatakan melalui penggunaan kalo dalam upacara-upacara yang berkaitan dengan berbagai kegiatan dalam bidang social, ekonomi, politik, dan keagamaan. dalam hubungannya dengan norma-norma, kalo berfungsi mengaitkan peranan-perana tertentu dalam hal ini menyangkut fungsinya sebagai pedoman mengatur  tingkah laku dalam kehidpn social masyrakat suku tolaki.
Kalo dalam fungsinya sebagai pedoman sikap seseorang dalam masyarakat adalah menyangkut pemakaian kalo pada bagian tertentu dari tubuhnya mengandung arti atau masing-masing fungsi  misalnya seorang remaja yang memakai kalo pada pergelangan tangan dan kaki, menandakan bahwa ia harus berperan sebagai pemuda yang penuh dengan potensi untuk melakukan segala tugas yang berat demi masa depannya. kalo pada pinggang, menandakan bahwa ia harus berperan sebagai orang tua yang penuh dengan kematangan untuk melakukan pembinaan terhadap anak dan generasi penerusnya. kalo sebagai pengikt tiang rumah, menandakan bahwa pemilik rumah atau penghuninya akan merasa tentram dan bencana alam tidak akan menimpanya. kalo dalam rangkaian pelantikan, menandakan bahwa kepemimpinan raja itu akan berhasil dan kemungkinan akan panjang umur. kialo dalam  upacara tolak bala, menandakan bahwa ritual tersebut akan berhasil serta jauh dari berbagai bencana. jadi, pada intinya kalo sebagai hukum adat, berfungsi untuk mengatur berbagai macam sektor kehidupan orang tolaki.

v  Kalo sebagai fokus dan pengintegrasi unsure-unsur kebudayaan tolaki
Pembuktian kalo sebagai fokus dan pengintegrasi berbagai unsure kebudayaan tolaki yaitu dengan melalui makna simbolik kalo sebagai asas distribusi barang-barang ekonomi, dan hubungannya dengan system teknologi mengenai bentuknya sebagai model dari teknik mengikat serta bentuk peralatan, demikian juga hubungannya dengan organisasi social melalui makna simbolik sebagai asas organisasi tradisional, asas organisasi kerajaan, dan sebagai asa politik dan pemerintahan. selanjutnya, kalo juga memiliki hubungan dengan system pengetahuan melalui makna simboliknya sebagai konsepsi orang tolaki mengenai struktur alam nyata, system religi, struktur alam gaib, serta hubungannya dengan kesenian melalui bentuk kalo sebagai model dari bentuk rias dan menari.


v  Kalo sebagai pedoman hidup untuk terciptanya ketertiban sosialdan moral dalam kehidupan masyarakat suku tolaki

Untuk terciptanya ketertban social dan moral dalam kehidupan masyarakat suku tolaki, mereka menggunakan ajaran-ajaran kalo sebagai pedoman hidupnya. masyarakat tolaki menganggap bahwa timbulnya suasana-suasna yang tidak baik akibat dari perbuatan manusia yang telah melanggar ajaran kalo sebagai adat pokok  suku tolaki. untuk memulihkan keadaan itu, maka mereka perlu mengadakan sebuah upacara yang disebut mosehe wonua yang secara harfiah kata mosehe berarti “menyehatkan” dan kata wonua berarti negeri, penduduk, warga masyarakat”.  upacara besar ini diikuti oleh sebagian besar masyrakat tolaki. dalam upacara tersebut dipimpin oleh dukun upacara dengan menyatakan bahwa mereka telah bertobat dan bersumpah akan kembali kepada ajaran-ajaran kalo yang sesungguhnya.

v  kalo sebagai pemersatu untuk berbagai pertentangan konseptual dan sosial dalam kebudayaan dan kehidupan suku tolaki.

a.    pertentangan konseptual antara tubuh dan jiwa dipersatukan oleh kalo kale- kale, yaitu yang dipakai pada pergelangan tangan dan kaki bayi.
b.    kalo sambiala, yaitu kalo yang dipakai di dada seorang anak sebagai pertentangan konseptual antara kanan dan kiri, antara atas dan bawah, muka dan belakang, dan antara luar dan dalam’
c.    kalo eno-eno, yaitu kalo yang dipakai dalam upacara-upacara ritual di lapangan, sebagai pertentangan konseptual antara dunia nyata dan gaib, antara dunia atas dan bawah, antara timur dan barat, utara dan selatan.
d.    kalo ula-ula, yaitu pertentangan konseptual antara orang hidup dan orang mati, juga untuk pengkabaran tentang adanya orang meninggal.
e.    kalo lowani, yaitu kalo yang dipakai sebagai tanda berkabung
f.      kalo kinalo, yaitu yang digunakan sebagai penjaga ladang dan kebun.
g.    kalo selekeri atau kalo kalelawu, sebagai cincin hidung kerbau

Selain kalo berfungsi sebagai pemersatu pertentangan-pertentangan konseptual, juga berfungsi sebagai pemersatu untuk pertentangan social dalam kehidupan masyarakat tolaki. namun segala unsure pertentanan social yang terjadi dalam masyrakat tolaki dapat dipersatukan oleh kalo sara dengan masing-masing fungsi sebagai berikut:

-         kalo sara mbutobu, yaitu kalo sara yang digunakan untukmenghadap kepada putobu (raja), agar raja turun tangan memulihkan perselisihan di antara golongan bangsawan dan budak.
-         kalo sara mokole, yaitu kalo sara yang digunakan untuk menghadap mokole (raja), agar raja turun tangan memulihkan perselisihan di antara golongan pemerintah dan rakyat
-         kalo sara sokei, yaitu kalo untuk membentengi diri dari pihak keluarga lelaki yang melarikan gadis dari serangan pihak keluarga wanita
-         kalo sara mekindoroa, yaitu kalo untuk mendamaikan atau mempersatukan diantara kedua orang yang berselisih karena keduanya mengancam untuk saling membunuh.

Makna Simbolik Kalo
Sebagai simbol tertinggi bagi masyrakat suku tolaki, kalo bukanlah sekedar lambang adat biasa, tetapi lebih dari itu kalo mempunyai makna yang sangat mendalam bagi kehidupan umat manusia dalam dunia yang telah diciptakan allah untuk menjalin kehidupan dalam suasana persaudaraan dan merupakan salah satu bentuk ibadah kepada tuhan. disamping itu, kalo mengandung konsep perdamaian, persatuan, dan kesatuan bukanlah suatu konsep yang kurang memperhatikan perbedaan yang ada, karena kalo adalah lambang pemersatu yang harus disertai dengan ketulusan/kesucian hati untuk hidup bersahabat dalam keberbagaian. dalam konsep tersebut perbedaan bukanlah suatu halangan untuk hidup bersama jika setiap orang menyadari bahwa dalam persamaan maupun dalam kerbedaan semua manusia hidup dalam satu lingkaran persaudaraan yang terjalin dan tersimpul dengan kuat seperti kalo yang melingkar.

           Sebenarnya kalo adalah sebuah benda berupa lingkaran rotan pilihan berwarna kuning berpelin tiga dan kedua ujungnya disimpul. ia merupakan simbolisasi dari berbagai unsur meliputi keluarga inti dan adat dalam kehidupan rumah tangga itu sendiri sebagai media pengikat hubungan keluarga inti secara timbal-balik. keluarga inti yang dimaksud di sini terdiri atas: ayah, ibu dan anak. penggunaan kalo biasanya bersama dengan sehelai kain putih sebagai alas dan talam persegi empat yang terbuat dari anyaman daun palam hutan. kain putih merupakan simbol adat dalam kehidupan berumah tangga. sedangkan rumah tangga itu sendiri disimbolkan oleh wadah anyaman tempat meletakkan lingkaran rotan yang berpelin tiga tersebut. kalo juga adalah simbol dari unsur-unsur keluarga luas, adat dalam kehidupan komuniti keluarga luas dan pola komuniti itu sendiri yang saling berkait secara timbal balik.

Kalo adalah simbol bagi suku tolaki-mekongga dalam memandang kehidupan. kalo yang terbuat dari pilinan tiga rotan pilihan yang berwarna kuning itu mengandung beragam makna bagi suku tolaki-mekongga. adapun makna/pengertian dari kalo tersebut adalah sebagai berikut:
  1. bentuk kalo yang bulat melingkar melambangkan kesatuan rohani dan jasmani dari unsur manusia yang utuh.
  2. pilinan rotan yang terdiri dari tiga jalur jalinan dengan satu ikatan simpul di kedua ujung dari rotan tersebut melambangkan keharusan untuk bersatu antara tuhan dengan unsur penguasa dunia atau pemerintah dengan unsur orang banyak/rakyat.
  3. sehelai kain putih yang menjadi alas pertama dari kalo tersebut melambangkan kesucian, ketentraman, kesejahteraan dan kemakmuran.
  4. talam persegi empat yang terbuat dari anyaman daun palam hutan sebagai alas paling bawah dari kalo melambangkan unsur-unsur kesucian terhadap air dan tempat sumber mata angin yang memberi kehidupan dan kesegaran rohani serta jasmani kepada setiap manusia.
Kalo itu sendiri apabila diletakkan bersamaan dengan aksesorisnya dalam bagi suku tolaki-mekongga, kalo juga adalah simbol dari tiga komponen stratifikasi sosial. golongan bangsawan disimbolkan dengan lingkaran rotan, golongan orang kebanyakan disimbolkan dengan kain putih dan golongan budak disimbolkan dengan wadah anyaman. lingkaran rotan yang diletakkan pada posisi di atas dari kain putih dan wadah anyaman menunjukkan bahwa golongan bangsawan itu adalah pemerintah dan penguasa yang harus melindungi golongan orang kebanyakan dan golongan budak. kain putih yang diletakkan pada posisi di bawah dari lingkaran rotan dan di atas wadah menunjukkan bahwa golongan orang kebanyakan/pemangku adat itu adalah pendukung golongan bangsawan dan pembela dari golongan budak/rakyat jelata. sedangkan wadah anyaman yang diletakkan di bawah kain putih dan lingkaran rotan menunjukkan bahwa golongan budak atau rakyat jeata itu adalah pendukung golongan pemangku adat dan pemuja golongan bangsawan.