Jumat, 23 Desember 2011

RENDRA DAN TRADISI TEATER MODERN

       “Si Burung Merak”. Siapa yang tak kenal dengan sapaan itu? Iya, tentu saja dibalik itu adalah Rendra. Sesosok yang memiliki  multitalenta dalam berpikir dan bertindak yang tidak hanya dalam ruang lingkup kesenian dalam hal ini penyair, penulis cerpen, dan dramawan, tetapi juga dari aspek lain bahkan yang bertentangan dengan  prinsip berkesenian seperti aktivis sosial. Ia mampu menciptakan dirinya seperti burung merak indah yang memiliki tubuh kecil namun, keindahan dalam hal ini kemampuan yang dimilikinya mampu   menyihir kita atau membuat orang terpukau bagi siapa saja yang menegenalnya. Rendra memiliki imajinai luar biasa, yang meninggalkan sejuta kenagan berupa karya-karyanya yang mampu mengubah keadaan menjadi lebih baik.  Sekumpulan harapan melalui karya-karyanya akan terus hidup, meski raganya telah lenyap, namun ia akan selalu tetap hidup dalam rontakan karya-karyanya sebagai usahanya untuk mewujudkan keinginannya dalam menciptakan perkembangan baru sebagai upaya untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik dalam  aspek kehidupan.  
       Sesuai dengan tema tersebut, dalam tulisan kali ini kami akan membahas tentang Rendra dalam pandangannya mengenai ‘tradisi teater modern’ saat ini dalam masyatakat. Tradisi merupakan inti dari pembahasan ini. Mengingat kedudukan tradisi sangat penting dalam masyarakat yaitu sebagai pembimbing pergaulan bersama, dalam kehidupan kreatifnya, Rendra  mencoba menjelaskan bahwa tradisi bukanlah objek yang mati, melainkan objek yang hidup yang melayani manusia yang hidup pula bukan sekedar warisan nenek moyang yang diwariskan secara turun temurun sebagaimana yang diketahui oleh banyak orang, tetapi tidak berarti bahwa kita hanya memiliki kewajiban untuk merawatnya dengan baik dan takut mengusiknya, apalagi mengembangkannya. Jika masyarakat berpikir demikian, maka tradisi akan beku. Apabila tradisi telah beku atau dibekukan, maka ia akan merugikan pertumbuhan pribadi dan kemanusiaan.  Oleh karena itu, Rendra menegaskan bahwa anggapan masyarakat tersebut terhadap tradisi harus diberontak, dicairkan, dan diberi perkembangan baru seperti yang telah dilakukannya. Hal ini tidak harus dimaknai sebagai sikap antitradisi melainkan sumbangsi terhadap tradisi sehingga menjadi lebih modern. Disamping itu, dengan memberontak terhadap tradisi, Rendra berusaha mengembangkan tradisi karena ia yakin bahwa tradisi diciptakan manusia untuk kepentingan hidupnya dan untuk bekerja. Demikianlah maka dikatakannya, “Saya mengembangkan tradisi dan tradisi mengembangkan saya.”
       Ketika Rendra membicarakan perkembangan drama modern di negeri ini, dengan lugas ia mengatakan bahwa kedudukannya masih goyah. Kegiatan yang dilakukan oleh pekerja drama modern, seperti dirinya adalah hasil pengaruh kebudayaan asing. Menurutnya masyarakat kita, masih berada dalam bayang-bayang tradisi lisan, sehingga ketika berhadapan dengan tradisi aksara menjadi kekuk dan merasa tidak bisa memahami apa yang dihadapinya. Ketidakpahaman itu tidak bersumber pada isi atau masalah yang disampaikannya, tetapi pada bentuk drama itu yang timbul dari kalangan elit yang tidak puas dengan tradisi lisan. Kurangnya drama modern Indonesia dari dorongan, cambukan, dan kontrol menyebabkan Indonesia tidak memiliki kritikus drama yang baik. Padahal kita membutuhkan kritikus untuk memajukan kesenian. Sehubungan dengan hal itu, Rendra mencoba membandingkan antara keadaan drama di negeri kita dengan situasi yang telah berlangsung di Barat yaitu bangsa Yunani dalam beberapa ribu tahun yang lalu tentang pengembangan tradisi tulis dalam seni pertunjukan. Dikatakannya bahwa  pementasan drama di bangsa Yunani berdasarkan naskah yang sudah ditulis terlebih dahulu, jauh sebelum mengembangkan tradisi tulis dibidang kesenian lain seperti yang kita kenal saat ini sebagai fiksi dan puisi. Bangsa itu justru telah mulai memanfaatkan aksara dengan sungguh-sungguh untuk pementasan drama, sehingga gagasan dan pengalaman hidup mereka tercatat pada taraf tertentu bisa dianggap ‘abadi’ karena tersedia residu yang berupa aksara tetapi juga mengakibatkan perkembangan disiplin berpikir dalam tulisan. Sementara itu, di Indonesia Rendra menyebutkan pementasan drama yang improvisatoris tanpa naskah, misalnya jenis-jenis teater rakyat seperti ketoprak dan ludrug. Jenis seni tradisional tersebut masih berkembang hingga saat ini namun,tradisi itu  ternyata hanya mampu bertahan sebatas pada tradisi lisan, sementara masyarakat tidak suka memberontak terhadap tradisi lisan tesebut, sehingga tentunya tidak bisa lagi menampung pengalaman dan penghayatan hidup modern ini, sebab sejak mengenal aksara, masyarakat tidak lagi bisa sepenuhnya menyandarkan pengetahuannya pada memori semata-mata.
       Beberapa esainya Rendra menyinggung dua hal fasilitas penting yang tidak pernah terpikirkan dalam tradisi lisan, yang pertama yaitu keluhan pekerja drama modern tentang miskinnya fasilitas. Kedua, yaitu sikap sebagian pekerja teater untuk menghasilkan hiburan dulu, nanti mencoba yang lebih serius. Bagi Rendra, fasilitas itu bukanlah gedung dan segala macam peralatan yang diperlukan dalam pelaksanaan pementasan teater, tetapi diri dramawan itu sendiri yaitu tubuh, pikiran dan imajinasinya. Semua itu merupakan gudang harta yang tidak bisa dipengaruhi oleh kemiskinan. 
       Rendra menyodorkan konsep ‘kegagahan dan kemiskinan’ terhadap segala bentuk keluhan yang muncul di kalangan pekerja teater modern. Ia menyatakan ‘kemarahannya’ terhadap berbagai usaha untuk menyerah atau kompromi dengan situsi itu. Dia mengakui bahwa kita miskin, namun bukan berarti sebagai alasan keadaan yang boleh memaafkan kita karena tidak berbuat apa-apa. Bahkan dikatakannya, tindakan untuk mengkompromikan kualitas dengan selera umum adalah hal yang absurd. Disamping itu, menurutnya dalam keadaan seperti itu, teater kita harus cenderung lebih spiritual dan tidak spektakuler. Ini erat kaitannya dengan hubungan antara miskinnya fasilitas dan kualitas kesenian. Kita harus merasa ‘gagah’ dalam kemiskinan. Sebab, kita akan terus-menerus miskin jika kita terus membandingkan apa yang telah kita miliki dengan kekayaan masyarakat lain.
       Dalam kaitannya dengan kehidupan modern yang bergoyang antara kelisanan dan keberaksaraan, Rendra kembali mengingatkan akan pentingnya fungsi kritik yang direkam dalam aksara sebab menurutnya, hanya kritik tertulislah yang dapat dilacak untuk dikembangkan demi berlangsungnya kehidupan berkesenian. Selain itu, Rendra kembali berpesan bahwa kini kita harus memulai tradisi baru, yakni menulis ketoprak serta menulis kritik atas karya itu. Dalam upaya pemberontakan dan perlawanan terhadap tradisi, sejalan gagasan yang disampaikannya.