Jumat, 23 Desember 2011

NILAI-NILAI MORAL DALAM CERITA RAKYAT TOLAKI (PASA’ENO)


BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang dan Masalah
1.1.1 Latar Belakang

       Sulawesi tenggara merupakan salah satu wilayah kepulauan yang memiliki penduduk bersifat majemuk dan beragam etnis. Dengan adanyanya keberagaman itu, mampu menciptakan nuansa indah dan menjadi suatu kebanggan tersendiri oleh setiap kelompok sosial tertentu. Kelompok sosial yang dimaksud dalam hal ini yaitu mencakup suku-suku mayoritas yang terdapat di Sulawesi Tenggara yaitu Tolaki, Muna dan Buton. Ketiga mayoritas etnis tersebut, masing-masing memiliki kekayaan tradisi yang selalu diwariskan secara turun-temurun yaitu dari satu generasi ke generasi selanjutnya dan selalu dijadiakn sebagai pedoman hidup oleh setiap kelompok masyarakatnya. Salah satu yang menjadi kekayaan taradisinya yaitu tradisi lisan.

       Sastra lisan merupakan salah satu sarana pewarisan konsepsi dan nilai budaya yang dapat berupa cerita rakyat, serta dipercaya mengandung nilai-nilai budaya, tumbuh dan berkembang seiring pertumbuhan dan perkembangan masyarakatnya, sehingga memegang peranan penting dalam upaya membentuk watak sosial masyarakat pendukungnya juga menjadi prinsip hidup masyarakatnya.
Sastra lisan masyarakat Tolaki, dalam hal ini cerita rakyat, dapat kita temukan di masyarakat pendukungnya yang benar-benar mengetahuinya. Dalam masyarakat Tolaki terdapat banyak cerita rakyat yang dapat kita temukan diantaranya  kisah Oheo, kisah Onggabo, kisah kali konawe’eha ronga laasolo, kisah haluoleo serta masih banyak cerita rakyat yang dapat kita temukan, yang kesemuanya masing-masing memiliki nilai-nilai tertentu yang dapat dimanfaatkan dalam kehidupan.

    Pemanfaatan unsur-unsur nilai yang terdapat dalam setiap cerita rakyat, pada realitasnya mampu membimbing bahkan mengatur sebagian masyarakat untuk menjadi lebih baik. Meski terkadang kenyataanya masih diragukan sebab sebagai sebuah jeenis sastra yang hidup dalam tradisi lisan, cerita prosa rakyat tidak diketahui tentang nama pengarangnya atau bersifat anonim.
Banyak cara yang dapat kita tempuh untuk mengenal tradisi suatu daerah salah satunya yaitu dengan cara mempelajari bahasa dan sastranya, baik sastra lisan maupun tulis karena keduanya saling mempengaruhi antar satu sama lain, karena pada dasarnya sastra tulis berangkat dari sastra lisan yang kemudian diwujudkan dalam bentuk tulisan. selain dengan adanya perkembangan teknologi, hal itu juga dimaksudkan agar sastra yang merupakan tradisi yang telah ada dapat dikembangkan juga diarsipkan agar dapat dimanfaatkan oleh orang lain untuk mengetahui khasanah kebudayaan bangsa.

       Mengingat kapasitas cerita rakyat di tengah masyarakat merupakan sesuatu hal yang masih menjadi perhatian oleh sebagian kelompok masyarakat mulai dari sudut pandang nilai-nilai tradisi hingga aspek-aspek lain, maka penulis merasa  tertarik untuk meneliti salah satu cerita rakyat yang bersumber dari masyarakat Tolaki yang berjudul Pasa’eno. Cerita rakyat ini telah lama berkembang terhadap sebagian masyarakat suku Tolaki, hal ini dapat ditandai dengan  adanya penggunaan istilah Pasa’eno sebagai marga dalam suatu golongan khususnya dalam masyarakat Tolaki.

1.1.2    Masalah

       Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi masalah dalam penelitian ini yaitu bagaiamakah nilai-nilai moral yang terdapat dalam cerita rakyat Tolaki yaitu Pasa’eno?

1.2    Tujuan Dan Manfaat   
1.2.1  Tujuan Penelitian

       Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan nilai-nilai moral yang terdapat dalam cerita rakyat Tolaki yaitu Pasa’eno.

1.2.2    Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut :
1.    Sebagai salah satu bahan ajar dalam pembelajaran Bahasa Dan Sastra Indonesia Dan Daerah       di sekolah khususnya materi sastra.
2.    Memberikan masukan dalam pengembangan apresiasi sastra khususnya pada sastra daerah.
3.    Sebagai sumbangan pemikiran dan bahan perbandingan pada penelitian selanjutnya mengenai aspek-aspek yang dianggap relevan.

1.3    Ruang Lingkup Penelitian

       Penelitian ini mengungkap nilai moral, yang menyangkut kejujuran, keberanian, dan sikap saling menghormati antar sesama manusia.

1.4    Definisi Operasional

       Untuk menghindari kesalahpahaman, maka berikut ini dipaparkan definisi operasinal yang digunakan dalam penelitian ini.
1.    Nilai adalah sesuatu yang berharga, bermutu, menunjukkan kualitas, dan berguna bagi manusia. Sesuatu itu bernilai berarti sesuatu itu berharga atau bergunabagi kehidupan manusia.
2.    Cerita rakyat adalah suatu golongan cerita yang hidup dan berkembang secara turun-temurun daru suatu generasi ke generasi selanjutnya.
3.    Moral adalah nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.


BAB II
KAJIAN TEORI

3.1    Pengertian Sastra

       Banyak ahli yang mendefenisikan pengertian sastra berdasarkan sudut pandang mereka masing-masing. Namun inti pendefinisiannya tidak keluar dari konsep sastra itu sendiri, sebab pada hakekatnya, segala bentuk karya sastra baik yang berbentuk lisan maupun tulisan diciptakan yang dapat dijadikan sebagai pedoman hidup manusia.
       Istilah sastra berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu sas dalam kata kerja turunan berarti mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk atau intruksi, dan tra biasanya berarti menunjukkan “alat” atau “sarana”. Dengan demikian sastra dapat berarti “alat untuk mengajar”, “buku petunjuk”, “buku intruksi atau pengajaran”. Awalan su berarti “baik” atau “indah”. Namun susastra tidak terdapat dalam bahasa Sansekerta maupun bahasa jawa Kuno, (Pradotokusumo, 2005: 7).

3.2    Konsep Sastra Lisan

       Hutomo (1983:2) menjelaskan bahwa sastra lisan atau kesusastraan lisan merupakan kesusastraan yang mencakup ekspresi warga atau kebudayaan yang disebutkan dan diturun-temurunkan secara lisan dari mulut ke mulut. Hal ini menandakan bahwa sastra lisan merupakan salah satu warisan budaya yang selalu diwariskan dari satu generasi ke generasi selanjutnya, yang mana bahasa dijadikan sebagai media utama dalam menyampaikannya.

       Akibat adanya pewarisan sastra lisan secara turun temurun, maka sastra lisan telah berwujud menjadi sebuah tradisi yang selalu berkembang dalam masyarakat. Proses perkembangannya dalam kehidupan sehari-hari dapat berupa melelui penuturan seorang ibu kepada anaknya, seorang guru kepada muridnya, maupun antar sesama anggota masyrakat.

       Pewarisan sastra lisan yang selalu terjadi dalam suatu masyarakat,  mempunyai peranan penting tersendiri, yaitu dengan adanya nilai-nilai kehidupan yang terkandung di dalamnya yang dapat dijadikan sebagai pedoman hidup dalam suatu kelompok masyarakat.
       Dengan adanya perkembangan teknologi dari masa ke masa, serta upaya untuk melestarikan sastra lisan, maka kini sastra lisan tidak hanya berbentuk lisan, tetapi dapat berupa bentuk tulisan yang biasa diwujudkan dalam buku cerita anak dan bahan pembelajaran.

3.3    Cerita Rakyat

       Cerita rakyat adalah suatu golongan cerita yang hidup dan berkembang secara turun-temurun daru suatu generasi ke generasi selanjutnya. Dikatakan sebagai cerita rakyat karena cerita itu hidup dan berkembang di kalangan  masyarakat dan semua lapisan masyarakat mengenal ceritanya (Djamaris, 1993: 15).
       Dengan hadirnya cerita rakyat sebagai sastra tradisional pada setiap suku, maka kita dapat mengetahui mengenai sendi-sendi kehidupan secara lebih mendalam terhadap suatu kelompok masyarakat. Dalam kedudukannya di tengah masyarakat, cerita rakyat dapat bermanfaat sebagai sarana untuk mengetahui asal-usul nenek moyang, sebagai jasa atau teladan kehidupan para pendahulu kita, sebagai hubungan kekerabatan, sebagai sarana pengetahuan asal mula tempat, adat-istiadat dan sejarah benda pusaka.

3.4    Jenis-Jenis Cerita Rakyat

      Dalam kedudukannya sebagai sastra tradisional, cerita rakyat dibagi atas tiga jenis, yaitu sebagai berikut :

3.4.1    Dongeng

       Dongeng adalah cerita sederhana yang tidak benar-benar terjadi. Dalam bahasa Inggris dongeng disebut folklore yang berarti sebagai cerita fantasi yang kejadian-kejadiannya tidak benar terjadi. Sebagai folklor,  dongeng juga merupakan suatu cerita yang hidup di kalangan masyarakat dan disajikan dengan cara bertutur lisan oleh tukang pencerita. Dalam kedudukannya di masyarakat, dongeng berfungsi sebagai hiburan, pengajaran moral dan nasehat bagi kehidupan dan sumber pengetahuan. Adapun tokoh-tokoh dalam dongeng, biasanya berupa dewa dan dewi, peri penyihir, binatang, kastil, benda-benda ajaib dan lain-lain.

3.4.2    Legenda

       Legenda merupakan cerita tradisional, sebab keberadaannya sudah dimiliki sejak dulu. Adapun proses pewarisannya biasa diterima dari orang tua ataupun keluarganya. Menurut Rusyana (La Ode Taalami, 2008 :20), legenda adalah prosa rakyat yang memiliki ciri-ciri mirip dengan mite, yakni pernah dianggap pernah benar-benar terjadi, tetapi tidak dianggap suci. Tokoh dalam leggenda adalah manusia meskipun adakalanya mempuunyai sifat luar biasa dan sering dibantu oleh mahluk gaib.

3.4.3    Mitos/Mite

        Dalam  bahasa Indonesia, istilah mitos atau mite “mythos” (Yunani) yang berarti cerita dewata, dongeng terjadinya bumi dengan segala isinya atau diambil dari bahasa Inggris “myth” : story, handed down fromold times, about the early beliefes of a race (cerita yang meriwayatkan zaman purbakala yang dipercayai suatu bangsa hingga kini).
     Mitos adalah cerita prosa yang ditokohi para dewa atau setengah dewa yang terjadi di dunia lain (kayangan0 dan dianggap benar-benar terjadi oleh penganutnya. Pada umumnya mitos menceritakan tentang terjadinya alam semesta, dunia, bentuk khas binatang, bentuk tofografi, petualangan para dewa, kisah percintaan mereka dan sebagainya.

2.5 Konsep Nilai

       Nilai adalah sesuatu yang berharga, bermutu, menunjukkan kualitas, dan berguna
bagi manusia. Sesuatu itu bernilai berarti sesuatu itu berharga atau berguna
bagi kehidupan manusia.
       Menilai berarti menimbang, menghubungkan antar sesuatu untuk selanjutnya mengambil keputusan. Keputusan nilai itu dapat dikatakan berguna atau tidak berguna, baik atau tidak biak, religius atau tidak religius. Hal itu dihubungkan dengan unsu-unsur yang melekat pada diri manusia yaitu jasmani, cipta, rasa dan kepercayaan.

3.5    Konsep Moral

        Pada hakikatnya nilai-nilai moral menyangkut tentang nilai baik dan buruk, positif dan negatif, pantas dan tidak pantas, serta sejenisnya adalah sesuatu yang bersumber dari ajaran agama. Prinsip ajaran agama adalah untuk mengatur kehidupan manusia. Jenis ajaran moral dapat mencakup masalah yang boleh dikatakan tidak terbatas. Ia dapat mencakup seluruh persoalan kehidupan, seluruh persoalan yang menyangkut harkat dan martabat manusia. Oleh karena itu, moral merupakan nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.
       Secara garis besar persoalan kehidupan manusia dapat dibedakan ke dalam beberapa persoalan, yaitu persoalan manusia dengan dirinya sendiri, hubungan antar manusia termasuuk hubungannya dengan lingkungan alam, serta hubungan manusia dengan Tuhannya, (Nurgiyantoro, 2007:323).
       Karya sastra mengandung penerapan moral dalam tingkah laku dan sikap para tokoh. Sementara pembaca diharapkan dapat menangkap pesan-pesan moral yang terkandung dalam karya sastra. Pesan moral yang ditawarkan selalu berhubungan dengan sifat luhr manusia dalam memperjuangkan hak dan martabat manusia.

3.6    Sastra Tolaki

       Pengertian kata “seni” jika diartikan dalam bahasa Tolaki disebut “alusu”. Istilah sastra jika diartikan dalam bahasa Tolaki bepadanan dengan “bitara ndolea”. Sastra bila ditinjau dari bentuknya, dibagi menjadi dua bagian, yaitu prosa dan puisi. Bentuk prosa dalam sastra tolaki adalah sebagai berikut : (1) o nango (dongeng), (2) tula-tula (kisah) atau cerita yang benar-benar terjadi, (3) kukua (silsilah), dan (4) pe’oliwia (pesan leluhur). Adapun karya sastra dalam bentuk puisi yaitu : (a) taenago (syair yang dilagukan), (b) kiniho atau lolama (pantun), (c) o doa (mantra), (d) singguru (teka-teki), dan (e) bitara sara (kata-kata persembahan).


BAB III
METODE DAN JENIS PENELITIAN

3.1 Metode dan Jenis Penelitian

       Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif yang bertujuan untuk mendeskripsikan nilai moral yang terkandung dalam cerita rakyat tolaki yaitu Pasaeno. Dikatakan deskriptif kualitatif karena dalam penjelasan konsep-konsepnya yang berkaitan antara satu dengan yang lain digunakan kata-kata atau kalimat dan menggunakan pemahaman yang mendalam serta tidak menggunakan data-data statistik.
       Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research). Dikatakan penelitian kepustakaan karena penelitian ini didukung oleh referensi baik berupa teks cerita rakyat maupun sumber buku penunjang lainnya yang mencakup masalah dalam penelitian ini.

3.2 Data dan Sumber Data

        Data dalam penelitian ini adalah data tertulis yang berupa teks cerita rakyat Pasaeno. Adapun sumber data penelitian ini adalah buku Kebudayaan Tolaki karya Abdurrauf Tarimana yang diterbitkan oleh Balai Pustaka, Jakarta 1993 dengan jumlah 423 halaman.
3.3 Teknik Pengumpulan Data
       Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik baca-catat, yaitu membaca kritis cerita rakyat yang akan diteliti, kemudian mencatat data-data atau informasi yang sesuai dengan penelitian ini.


3.3 Teknik Analisis Data

       Analisis data dilakukan dengan cara mentranskripsikan, mengidentifikasi, dan mendeskripsikan nilai moral yang terdapat dalam cerita rakyat tolakiyakni Pasa’eno, karya Abdurrauf Tarimana. Adapun metode analisis data diuraikan yaitu sebagai berikut :
1.    Identifikasi data, dengan memberi kode pada data yang sesuai dengan permasalahan penelitian, yaitu yang berkaitan dengan nilai moral.
2.    Klasifikasi data, yaitu mengklasifikasikan data berdasarkan permasalahan penelitian.
3.    Deskripsi data, yaitu data yang telah diklasifikasikan ke dalam bentuk paparan atau bahasan.
4.    Interpretasi data, yaitu data yang telah dideskripsikan diikuti dengan penafsiran.







BAB IV
PEMBAHASAN


4.1 Aspek Moral dalam Cerita Pasa’eno

       Berdasarkan data yang diteliti, aspek moral dalam cerita rakyat Pasaeno, dapat diklasifikasikan ke dalam 3 (tiga) aspek, yaitu : (1) Kejujuran, (2) Keberanian  (3) Ketabahan dan (4) Sikap saling menghormati antar sesama manusia. Gambaran mengenai aspek moral tersebut dapat dilihat dalam uraian berikut:

4.1.1 Kejujuran

       Jujur adalah keselarasan antara yang terucap dengan kenyataan. Jadi, jika suatu berita sesuai dengan kenyataan, maka dikatakan jujur atau benar, tetapi jika tidak, maka dikatakan dusta. Kejujuran terletak pada ucapan dan perbuatan seseorang yang sesuai dengan batinnya.

        Dalam cerita rakyat Pasaeno, masalah utama yang ingin disampaikan cerita tersebut adalah perilaku kejujuran. Kejujuran yang dimaksud dalam hal ini yaitu bagaimana pentingnya seseorang harus bersikap jujur terhadap sesuatu. Sikap jujur dapat kita temukan pada tokoh Wesande, ketika bagaimana ia memerangi tuduhan masyarakat terhadap dirinya yang mengatakan bahwa ia telah dihamili oleh seorang lelaki meski dirinya telah mengandung. Namun karena adanya ketidak sesuaian kenyataan antara perbuatan dan kenyataan dalam dirinya, Wesande tetap mempertahankan perkataannya meski dihakimi oleh masyarakat dengan mengusirnya dari kampung. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut :
“Wesande selalu menyangkalnya bahwa dirinya tidak pernah bersama dengan seorang lelaki, hanya karena ia pernah meminum air di daun ketika mengambil daun pandan.namun masyarakat tidak mempercayainya.”

       Kejujuran Wesande juga dapat dilihat pada sumpah yang dilakukannya yaitu :
 “Jika benar aku telah bersama dengan lelaki yang menyebabkan aku hamil, maka apabila aku melahirkan, itulah yang akan merenggut nyawaku, namun jika bukan, maka aku akan selamat berumur panjang dan anakku akan menjadi orang yang mubarak di kemudian hari.”

       Sikap kejujuran yang dilakukan oleh tokoh tersebut, seperti pada kutipan di atas mengajarkan bagaimana kita harus bertumpu pada kebenaran hidup dengan mempertahankan segala sesuatu yang memang pada dasarnya dianggap benar meskipun nyawa harus menjadi taruhannya.

4.1.2 Keberanian

       Keberanian yang dimaksud dalam hal ini yaitu kesetiaan terhadap suara hati yang menyatakan diri dalam kesediaan untuk mengambil resiko konflik. Orang yang berani secara moral akan membuat pengalaman yang menarik. Setiap kali ia berani mempertahankan sikap yang diyakini, dia merasa lebih kuat dan berani dalam hatinya, dalam arti bahwa ia semakin dapat mengatasi perasaan takut dan malu yang sering mencekam.
        Sikap keberanian moral yang terkandung dalam cerita rakyat Pasaeno  dapat kita temukan pada saat Wesande berani mempertahankan perkataan dan sumpah yang dicapkannya di hadapan masyarakat sekampungnya. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut :
“Jika benar aku telah bersama dengan lelaki yang menyebabkan aku hamil, maka apabila aku melahirkan, itulah yang akan merenggut nyawaku, namun jika bukan, maka aku akan selamat berumur panjang dan anakku akan menjadi orang yang mubarak di kemudian hari.”

       Selain keberanian yang berwujud ucapan sumpah yang dilakukan oleh Wesande terhadap dirinya, sikap keberanian lain yang dimiliki oleh Wesande juga terlihat  ketika ia berani menerima resiko konflik yang terjadi antar dirinya dan masyarakat sekampung. Resiko itu terlihat disaat Wesande harus diusir dari kampung dan dipindahkan di suatu hutan yang tidak berpenghuni. Seperti yang terlihat dalam kutipan berikut :
                     “Meskipun Wesande telah mengutuk dirinya dengan bersumpah, tetapi tidak ada         seorang pun yang mempercayainya. Diusirlah dirinya dari rumah keluarganya dan dibuatkanlah rumah di tengah hutan, lalu ia tinggal seoarang diri hingga melahirkan.”

       Ketekadan Wesande untuk mempertahankan sikap yang telah diyakininya merupakan sesuatu hal yang patut diteladani oleh setiap manusia baik berani dalam mempertahankan sikap maupun berani untuk melawan segala ketidak adilan.

4.1.3 Ketabahan

       Ketabahan merupakan proses kekuatan jiwa seseorang dalam menghadapi penderitaan akibat penyakit atau cobaan hidup yang dihadapkan pada masalah interaksi, relasi, dan kehilangan orang terdekat. Konsep ketabahan bukan saja proses yang identik dengan kemiskinan sandang-pangan, tetapi bagaimana cara seseorang menghadapi atau mengurai suatu masalah baik ketika menderita, menghadapi cobaan, hukuman karma dan sebagainya.
        Dalam cerita Pasaeno, ketabahan sangat dijunjung tinggi, seperti yang terlihat pada tokoh Wesande. Dalam cerita rakyat ini, tokoh Wesande dikisahkan sebagai seseorang yang tabah dalam menghadapi cobaan  yang datang secara mendadak dalam kehidupannya.  Kehamilan dirinya yang terjadi secara tiba-tiba dan ia tidak mengerti tidak membuatnya putus asa dalam menghadapi segala masalah yang ia hadapi. Bahkan ujian yang menimpanya berubah menjadi kekuatan dirinya dalam menghadapi masalah.
        Hal ini dapat dilihat pada kutipan ceritanya:
“Wesande selalu menyangkalnya bahwa dirinya tidak pernah bersama dengan seorang lelaki, hanya karena ia pernah meminum air di daun ketika mengambil daun pandan. Namun orang-orang sekampung tidak mempercayainya. Kemudian Wesande mengutuk dirinya dengan berkata bahwa “jika benar aku telah bersama dengan lelaki yang menyebabkan aku hamil, maka apabila aku melahirkan, itulah yang akan merenggut nyawaku, namun jika bukan, maka aku akan selamat berumur panjang dan anakku akan menjadi orang yang mubarak di kemudian hari.” Meskipun Wesande telah mengutuk dirinya dengan bersumpah, tetapi tidak ada seorang pun yang mempercayainya. Diusirlah dirinya dari rumah keluarganya dan dibuatkanlah rumah di tengah hutan, lalu ia tinggal seoarang diri hingga melahirkan.”

       Kutipan di atas yang berisi pernyataan sumpah yang dilakukan oleh Wesande, adalah ketabahann moral yang begitu kuat dalam menghadapi cobaan hidupan. Kekuatan jiwa Wesande yang melahirkan ketabahannya disaat menerima cobaan merupakan suatu contoh yang mesti dijadikan teladan bagi setiap manusia.

4.1.4 Sikap Saling Menghormati Antar Sesama  Manusia

      Sikap saling menghargai adalah suatu sikap yang harus dimiliki oleh setiap manusia. Saling menghormati atau menghargai di tengah pergaulan hidup merupakan sesuatu hal yang sangat essensi di tengah-tengah pergaulan. Oleh karena itu, setiap manusia mempunyai tanggung jawab moral untuk mempertahankan dan mewujudkan citra yang baik dengan menampakkan tutur kata, sikap dan tingkah laku, cara berpakaian dan cara bergaul.
       Salah satu sentral masalah dalam cerita rakyat Pasaeno, yaitu mengenai tidak adanya sikap saling menghargai antar sesama tokoh dalam cerita tersebut, yakni Wesande dan masyarakat sekampung. Hal ini terlihat pada sikap masyarakat sekampung yang langsung meleparkan tuduhan terhadap Wesande bahwa dirinya telah dihamili oleh seorang lelaki tanpa menanyakan terlebih dulu mengenai hal tersebut dengan cara terhormat. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut :
“dituduhlah ia oleh masyarakat sekampung bahwa dirinya telah dihamili. Tetapi Wesande selalu menyangkalnya bahwa dirinya tidak pernah bersama dengan seorang lelaki, hanya karena ia pernah meminum air di daun ketika mengambil daun pandan. Namun orang-orang sekampung tidak mempercayainya.”
       Sikap tidak saling menghargai juga nampak pada kutipan berikut :
“Diusirlah dirinya dari rumah keluarganya dan dibuatkanlah rumah di tengah hutan, lalu ia tinggal seoarang diri hingga melahirkan.”

       Kedua kutipan cerita rakyat Pasaeno di atas, jelas memperlihatkan keadaan masyarakat yang tidak mengenal sikap saling menghormati antar sesama umat. Cermin sikap-sikap tokoh dalam kutipan cerita tersebut menandakan kondisi kelompok masyarakat yang masih buta tentang nilai-nilai kehidupan dalam masyarakat. Hal ini tentu mempunyai hubungan mengenai konsep kepercayaan masyarakatnya di masa lalu yang biasa menganut kepercayaan terhadap roh-roh yang mengakibatkan lahirnya sikap masyarakat yang tidak mengenal asas kehidupan.


BAB V
KESIMPULAN

5.1 Simpulan

       Berdasarkna hasil penelitian yang telah dipaparkan pada bab-bab sebelumnya, maka penulis dapat memberi simpulan dari penelitian ini, bahwa cerita rakyat tolaki yang berjudul Pasa’eno karya Abdurrauf Tarimana, terdapat tiga aspek nilai moral yaitu kejujuran, keberanian, dan sikap saling menghormati antar sesama manusia. Nilai-nilai moral tersebut dapat dijadikan sebagai pedoman hidup manusia.

5.2 Saran

       Berdasarkan kesimpulan di atas, maka saran yang ingin disampaikan penulis kepada pembaca adalah sebagai berikut :
1.    Pembaca dan penikmat karya sastra hendaknya dapat mengambil pelajaran moral yang terdapat dalam cerita rakyat Pasa’eno karya Abdurrauf Tarimana dan dijaadikan sebagai pedoman hidup untuk selalu melakukan hal yang baik sebagai cermin kehidupan.
2.    Untuk kepentingan pembelajaran sastra, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai salah satu wawasan dalam memahami karya sastra ysng dapat mencakup pembelajaran di keluarga, di sekolah, maupun di tengah masyarakat.


DAFTAR PUSTAKA

Tarimana, Abdurrauf. 1993. Kebudayaan Tolaki. Jakarta: Balai Pustaka.
Hadiwardoyo, Al. Purwa. Moral dan Masalahnya.1994. Yogyakarta: Kanisius.
Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta:   Pustaka Pelajar.
Hariwijaya, M & Djaelani, Bisri M. 2004. Teknik Menulis Skripsi dan Tesisis. Yogyakarta:          Hanggar Kreator.
Team reality. 2008. Kamus Terbaru Bahasa Indonesia. Surabaya: Reality Publisher.




LAMPIRAN

CERITA RAKYAT TOLAKI YANG BERJUDUL PASAENO DALAM BUKU KARYA ABDURRAUF TARIMANA

Pasa,eno
        La’ito o’aso otembo anolako i Wesande me’onaha anotekoni moko’uono. Lako’ito lumolambua meopolaha iwoi, mano tano onggiki hae itomo iwoi. Ieto bara sinuano iwoi la ine tawa toho. Mahio’ito nomoko’uono to’oto notehanungge noiwoi ine tawa ano ale uminu’i.
       Ietoka bara ona nggiro’o ano mendia i Wesande. Te’embe hae tano langgi wawo rapu. Ropendutulu’ito ona tono dadio nomosa’ato gau-gauno, pinokomendia. Mano lala’ieto i Wesande nopehapu, ki’oki no’ari medulu’ako langgai, ano tekoni mendia, ieika no’ari mo’inu iwoi ine tawa ndoho, laha’ano lako me’onaha, mano tanionggi parasaea’i.
       Lakonoto i Wesande meotonao, te’eni, “ako ambato ari medulu’ako langgai akumendia, ma, kekupe’ana ma nggo ieto wawo’aku, akutomate sumurundia. Ie keno ta ieki, ma, akuki melai ndoro, kekila barakano ananggu matu oleo peromboi.”
       Mano mbako i Wesande meotonao tano pinarasea. Pinotuha’ito ari laikano peohaino lako pinelaika’ako i ahoma anopo’ia dowo sambe ano pe’ana dowo. Sina ropembodea’i Wesande nope’anato ronga salama’ika iepo ona aro la iha-iha mbebarasaea’i notano pinoko-mendiaki.
       Elengua’iropo mbebarasaea’i notudu ona ari lahuene bangga-bangga la lako umula’i mbera parewa mbesosambakaino anano i Wesande. Ieto la lako wawe’i nggiro’o obangga no’amano anano i Wesande, ari i wawo sangia.
       Ieto la lako niawono nopetuha amano, watu mbeosambakai, pingga mbebahoano anano. Ari’ipo ona anano i Wesande sinosambakai iepo ona amano nopondamoke tamono anano ieto bara i Pasa’eno.
       Mbesombairoto ona tono dadio ako ine amano i Pasa’eno nosangia toude, ronga lako kei Pasa’eno no’ana sangia. Sambe ingoni oleo laha’iroika nggiro’oro parewa mbesosambaino i Pasa’eno. I Pasa’enoto ona ni’ino mbepuearo mbera tono tinamoako tano anakia, tano o’ata.

Arti dalam bahasa indonesia:
Pasa,eno
      Pada suatu hari pergilah Wesande mengambil daun pandan di hutan. Ketika ia mengambil daun pandan, tiba-tiba dirinya merasa kehausan. Ia lalu mencari air, tetapi ia tidak menemukannya. Konon air yang ditemukannya adalah air otoho (sejenis pohon yang subur).
       Karena merasa sangat kehausan, maka ia tidak peduli lagi sumber air yang diminumnya. Akibat air yang diminumnya itu, tiba-tiba ia kemudian menjadi hamil. Berhubung ia tidak berstatus sebagai istri orang, maka dituduhlah ia oleh masyarakat sekampung bahwa dirinya telah dihamili. Tetapi Wesande selalu menyangkalnya bahwa dirinya tidak pernah bersama dengan seorang lelaki, hanya karena ia pernah meminum air di daun ketika mengambil daun pandan. Namun orang-orang sekampung tidak mempercayainya.
    Kemudian Wesande mengutuk dirinya dengan berkata bahwa “jika benar aku telah bersama dengan lelaki yang menyebabkan aku hamil, maka apabila aku melahirkan, itulah yang akan merenggut nyawaku, namun jika bukan, maka aku akan selamat berumur panjang dan anakku akan menjadi orang yang mubarak di kemudian hari.”
       Meskipun Wesande telah mengutuk dirinya dengan bersumpah, tetapi tidak ada seorang pun yang mempercayainya. Diusirlah dirinya dari rumah keluarganya dan dibuatkanlah rumah di tengah hutan, lalu ia tinggal seoarang diri hingga melahirkan.
       Setelah masyarakat mendengar bahwa Wesande telah melahirkan dengan selamat, barulah mereka percaya jika dirinya tidak dihamili. Mereka pun semakin percaya ketika turun dari langit sebuah perahu yang memuat segala peralatan upacara permandian bayi Wesande. Perahu tersebut dibawah oleh ayah anak Wesande yang berasal dari kayangan.
        Peralatan yang dibawanya ketika ia turun adalah batu alat untuk memandikan Si bayi, dan piring besar sebagai tempat memandikannya. Setelah bayi Wesande dimandikan, barulah mereka memberi nama bayi itu dengan nama Pasa’eno.
       Masyarakat sekampung kemudian menyembah kepada ayah Pasa’eno sebagai dewa nyata serta terhadap Pasa’eno sebagai anak dewa. Peralatan mandi bayi Pasa’eno  masih ada. Pasa’eno inilah yang dikenal sebagai nenek moyang dari mereka yang tergolong kaum bukan bangsawan dan bukan pula budak.